Hukum Islam Orang Berjudi

Hukum Islam Orang Berjudi

Penjelasan Meminum Khamar

Khamar merupakan bahasa Arab yang berarti “tutup”. Secara harfiah khamar diartikan menghalangi dan menutupi. Sedangkan, dalam bahasa yang lebih popular, khamar memiliki arti minuman keras yang memabukkan.

Khamar adalah segala bentuk minuman atau hal lainnya yang dapat menghilangkan kesadaran. Dalam hal ini bius juga dapat dimasukan ke pada khamar.

Dikutip dari bukuAkidah Akhlak Kelas XI oleh Sihabul Milahudin (2020), Minuman keras (arak) khamar bersifat menutup dan menghilangkan kesadaran (pikiran). Kata “khamr” disebutkan dalam ayat Al Qur’an sebanyak 7 (tujuh) kali. Al Qur’an menyatakan bahwa hukum meminum khamar adalah haram.

Allah SWT berfirman di dalam Surah An-Nahl ayat 67 yang berbunyi, “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”

Ayat tersebut sebenarnya menjelaskan tentang khamar yang dianggap baik oleh orang-orang jahiliyah, namun bersifat memabukkan. Sehingga Allah SWT melarang bagi orang-orang yang berfikir untuk mengonsumsinya.

1. Dampak Meminum Khamar

Berikut ini adalah sejumlah dampak yang ditimbulkan setelah meminum khamar:

a. Melanggar Larangan Agama

Allah SWT dengan tegas melarang umatnya untuk meminum khamar dengan hukum haram. Apabila umatnya melanggar tentu akan mendapatkan ganjaran dosa yang besar.

b. Awal Pembuka Dosa Lainnya

Meminum khamar berakibat menghilangkan kesadaran akalnya yang dapat berimbas kepada beberapa perlakuan keji seperti membunuh, mencuri, dan memperkosa.

Islam melarang umatnya yang sedang dalam keadaan mabuk untuk melakukan ibadah seperti salat. Hal tersebut disebabkan karena orang yang mabuk tidak menyadari apa yang sedang dikerjakannya.

d. Gangguan pada Mental Organik

Meminum khamr dapat merusak sistem kerja otak dalam berfikir. Selain itu kurangnya rasa untuk merasakan dan berperilaku sehingga menimbulkan gangguan mental organik.

e. Mendapatkan Sanksi dari Agama dan Negara

Tindakan mabuk akan mendapatkan saksi dari agama berupa deraan sebanyak 40 kali. Sedangkan dalam hukum akan dikenai pasal berupa denda dan hukuman penjara jika melakukan kejahatan yang lebih buruk.

2. Hikmah Larangan Meminum Khamar

Adapun, berikut ini merupakan hikmah laranagan meminum khamar dalam ajaran islam:

a. Masyarakat kondusif dan aman.

b. Menjaga kesehatan diri sendiri.

c. Menghindari perkelahian dalam keadaan mabuk yang menimbulkan perselisihan.

d. Menjaga diri supaya selalu taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Judi berasal dari bahasa Arab “al-maisir” dengan asal kata dasarnya “al-yasir” yang berarti wajib sesuatu bagi pemilikinya. Secara makna, judi dapat diartikan dengan mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa adanya kerja keras.

Dikutip dari Jurnal Larangan Maisir dalam Al-Qur’an dan Relevansinya dengan Perekonomian karya Dewi Laela Hilyatin (2021), Judi dalam istilahnya merupakan segala perilaku berbentuk permainan dengan adanya pertaruhan berupa uang, barang, atau lainnya, di mana pihak yang kalah harus membayar pihak yang menang.

Allah SWT melarang hambanya untuk melakukan permainan judi dalam QS Al Maidah ayat 91 yang berbunyi, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembayang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”

1. Dampak Permainan Judi

Berikut ini merupakan dampak buruk yang dihasilkan oleh perilaku berjudi:

a. Judi merupakan perbuatan yang menjijikan (rijs).

b. Judi dapat menyebabkan pertengkaran dan permusuhan.

c. Judi mengurangi semangat untuk bekerja lantaran mendapatkan uang secara instan.

d. Judi selalu menyebabkan ketidakpuasan dalam kemenangan dan kekalahan sehingga melupakan tindakan ibadah.

2. Hikmah Larangan Permainan Judi

Berikut ini adalah hikmah larangan berjudi dalam Islam:

a. Menjauhkan dari perilaku buruk akibat perbuatan judi.

b. Meningkatkan semangat untuk berkerja keras.

c. Meningkatkan rasa kasih sayang kepada keluarga maupun orang lain.

d. Menjaga kehormatan diri sendiri maupun keluarga dan masyarakat.

Hukum makanan dalam Islam dapat digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu halal, haram, syubhat, dan makruh.[1]

Halal (حَلَال) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baik, dibolehkan, dan sesuai hukum. Bagi umat Islam, yang dimaksud dengan makanan halal adalah makanan yang diperoleh dan diolah sesuai dengan syariat Islam.[2]

Dalam Islam, perkara yang halal dan haram jelas hukumnya. Sementara perkara yang diragukan halal haramnya disebut sebagai syubhat.[3]

Ada pula makanan yang termasuk kategori makruh, yaitu makanan yang disarankan untuk dihindari.[1]

Hukum makanan dalam Islam diatur di beberapa ayat Al-Qur'an, terutama surah Al-Ma’idah (5): 3-4, yang merinci tentang makanan apa saja yang diharamkan dan dihalalkan. Kemudian ada pula dalam surah Al-Baqarah (2): 168 dan 172 serta An-Nahl (16): 114.[4][5] Perintah Allah untuk mengonsumsi makanan halal secara jelas disebutkan di dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Ma'idah ayat 88.[6] Kehalalan suatu makanan juga ditinjau dari cara memperolehnya.[7]

Mengonsumsi makanan halal merupakan salah satu bentuk keimanan seorang muslim. Allah melarang memakan makanan haram karena berpengaruh terhadap akhlak, watak, sifat, sikap dan perilaku seseorang.[8]

Hukum dasar binatang, binatang ternak dan burung adalah halal untuk dimakan. Makanan yang diharamkan dibedakan menjadi dua. Ada yang diharamkan menurut nash dalam sunnah Rasulullah saw dan ada yang diharamkan menurut ungkapan yang disebutkan dalam Kitabullah. Sejak dulu bangsa Arab telah mengharamkan beberapa jenis makanan dengan alasan bahwa makanan tersebut adalah sesuatu yang buruk. Sementara makanan yang dihalalkan merupakan sesuatu yang baik. Oleh karena itu, dihalalkan makanan yang baik menurut mereka dan diharamkan pula makanan yang buruk menurut mereka, kecuali beberapa jenis makanan yang dikecualikan.[9]

Istilah halal dapat merujuk pada bahan makanan yang boleh digunakan, dilakukan (terkait proses pengolahan) atau diusahakan (terkait proses perolehan) serta terbebas dari berbagai hal yang berbahaya atau dilarang. Kebalikannya, istilah haram (حَرَامْ) merujuk pada segala bahan makanan yang dilarang untuk digunakan atau dilakukan, baik karena kandungan zat di dalamnya maupun cara memperolehnya.[10]

Sebenarnya perkara halal dan haram merupakan istilah universal yang berlaku dalam semua aspek kehidupan. Tidak hanya berlaku untuk produk makanan tetapi juga untuk produk selain makanan, seperti kosmetik, produk perawatan tubuh, obat-obatan dan sebagainya.[11]

Sebagai jaminan atas kehalalan suatu produk, setiap produk harus tersertifikasi halal. Di Indonesia, proses sertifikasi halal diatur oleh Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebelumnya, jaminan produk halal (JPH) dilakukan oleh masyarakat dan bersifat sukarela. Dengan adanya undang-undang tersebut, tugas JPH beralih dan menjadi tanggung jawab pemerintah (negara) dan bersifat wajib.[12]

Status keharaman makanan dan minuman bisa berubah menjadi halal dalam kondisi darurat, misalnya ketika seseorang tersesat di hutan dan tidak menemukan makanan halal. Dalam kondisi darurat, hal ini berlaku mutlak dengan maksud untuk bertahan hidup agar tidak mati kelaparan. Jika masih ada sumber makanan lain yang halal, makanan yang haram hukumnya tetap haram.[13]

Selain istilah halal, ada juga istilah thayyib yang berarti memiliki kualitas yang baik dan menyehatkan. Makanan yang thayyib juga harus aman dikonsumsi, tidak beracun dan tidak memabukkan. Oleh karena itu, setiap muslim diharuskan untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib.[14][15]

Makanan merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam Islam karena bukan hanya berpengaruh terhadap kondisi tubuh dan kesehatan, tetapi juga dikabulkan tidaknya suatu doa. Secara garis besar, makanan halal memiliki beberapa kriteria yang wajib diperhatikan, yaitu halal karena zatnya, halal dari cara mendapatkannya, halal dari memprosesnya dan halal dari segi penyimpanan serta penyajiannya.[16]

Makanan halal adalah makanan yang terbuat dari hewan dan tumbuhan yang halal dimakan. Ada pun bahan-bahan yang diharamkan antara lain:

Makanan yang telah memenuhi kriteria halal dari sisi bahan, bisa dihukumi sebagai haram jika cara memperolehnya tidak baik, misalnya makanan yang didapat dengan uang hasil, mencuri, perbuatan zina, menipu, hasil riba, korupsi dan sebagainya.[16]

Makanan yang halal harus diproses dengan cara yang halal dan tidak tercampur dengan sesuatu yang haram. Dengan demikian, peralatan masak yang digunakan untuk memasak makanan haram tidak boleh digunakan bersamaan karena akan membuat makanan yang halal menjadi haram.[16]

Proses penyimpanan makanan halal tidak boleh dijadikan satu tempat dengan makanan haram. Selain itu, menyajikan makanan halal tidak boleh menggunakan peralatan makan yang diharamkan, seperti menggunakan alat makan yang terbuat dari emas.[16]

Selain halal, makanan yang dikonsumsi juga harus thayyib (baik dikonsumsi). Para ulama berbeda pendapat mengenai kriteria makanan yang disebut thayyib. Namun, setidaknya ada tiga pendapat umum ulama mengenai hal ini, yaitu makanan yang tidak membahayakan fisik maupun akal (pendapat Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirul Quranil 'Adzim), makanan yang mengundang selera (pendapat Imam Syafi'i dan ulama lainnya) dan makanan yang halal serta tidak najis (pendapat Imam Malik dan Imam Atthabari).[18]

Syubhat adalah perkara yang ketentuan hukumnya diragukan, apakah termasuk halal atau haram. Dalam Islam, jika suatu perkara tidak jelas status hukumnya, perkara tersebut sebaiknya ditinggalkan agar tidak terjatuh pada perkara haram. Pada pengertian yang lebih luas, syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas kebenarannya sehingga masih mengandung kemungkinan benar atau salah.[3]

Menurut ulama mazhab Syafi'i, Muhammad bin Ibrahim Ibnu Mundzir an-Naisaburi (242-318 H), perkara syubhat dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, sesuatu yang haram bercampur dengan yang halal. Misalnya, buah hasil curian (termasuk makanan haram) bercampur dengan buah halal lainnya dalam satu keranjang. Buah tersebut tergolong syubhat karena tidak jelas mana yang buah haram dan halal.[3]

Kedua, perkara halal, lalu muncul keraguan. Misalnya, produk-produk makanan olahan yang berasal dari negara mayoritas nonmuslim. Produk-produk tersebut tergolong makanan syubhat karena meskipun bahan dan barang produknya halal dan suci, apabila proses pengolahannya tercampur dengan bahan-bahan haram menjadi tidak halal. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang pengolahan bahan pangan, mengetahui kehalalan suatu produk makanan dan minuman bukan perkara mudah sehingga menimbulkan keraguan.[3][19]

Ketiga, perkara yang belum jelas status halal atau haramnya. Misalnya, ketika seseorang bepergian ke wilayah yang mayoritas penduduknya nonmuslim dan ia makan di restoran yang ada di wilayah tersebut.[3]

Secara bahasa, makruh artinya sesuatu yang dibenci. Makruh merupakan perkara yang dilarang tetapi larangan tersebut bersifat tidak pasti. Suatu perbuatan dikatakan makruh apabila ditinggalkan dirasa lebih baik daripada mengerjakannya. Misalnya, berkumur atau memasukkan air ke hidung secara berlebihan saat puasa Ramadan.[20]

Makruh dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih. Makruh tahrim adalah sesuatu yang secara pasti dilarang oleh syariat, seperti larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki. Sementara makruh tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya tetapi larangan tersebut bersifat tidak pasti, seperti memakan daging kuda ketika dalam kondisi perang, mengonsumsi makanan berbau menyengat (petai, jengkol, bawang putih dan sebagainya), meniup makanan dan minuman panas, minum sambil berdiri dan lain-lain.[20][21]

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada masa Rasulullah pernah ada larangan memakan daging kuda tetapi sifatnya sementara karena kebutuhan kondisional saat itu, di mana kuda menjadi bagian dari alat perang. Ada pun kalangan ulama yang memakruhkan adalah ulama Hanafiyah, termasuk Abu Hanifah sendiri dan dua murid dekatnya, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.[22]

Memakan makanan berbau menyengat dan tidak sedap dikategorikan sebagai makruh apabila dimakan ketika hendak salat berjamaah di masjid. Bau yang menyengat dari makanan tersebut akan menyakiti atau mengganggu kenyamanan jamaah lain yang hendak beribadah.[21]

Status makruh pada makanan dan minuman yang ditiup, utamanya berasal dari anjuran Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari yang berbunyi, "Apabila kalian minum, janganlah bernafas di dalam suatu wadah, dan ketika buang hajat, janganlah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan". Lebih lanjut, Imam al-Munawi menjelaskan alasan meniup makanan dan minuman panas dimakruhkan agar tidak mengubah aroma makanan dan minuman akibat bau mulut orang yang meniupnya. Penjelasan ini dinilai masuk akal dan lebih bersifat akhlak serta etika karena pada masa itu, meniup makanan agar cepat dingin menandakan bahwa orang tersebut rakus dan tidak sabar.[23]

Tidak ada dalil, baik dalam Al-Quran maupun hadis, yang secara sahih dan tegas menjelaskan tentang keharaman mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan yang hidup di dua alam (hewan amfibi), kecuali katak. Para ulama pun berbeda pendapat terkait hal ini. Ulama Malikiyah memperbolehkannya secara mutlak, termasuk katak, kura-kura atau penyu dan kepiting. Ulama Syafi'iyah memperbolehkan secara mutlak, kecuali katak. Burung air dihalalkan asalkan disembelih sesuai syariat Islam. Sementara hewan yang sejenisnya di darat tidak dimakan atau tidak ada hewan sejenisnya di darat, hukumnya haram, seperti anjing laut, babi laut, katak, ular, buaya, penyu dan kepiting. Ulama mazhab Hambali berpandangan bahwa hewan yang hidup di dua alam tidak halal dimakan, kecuali sudah melalui jalan penyembelihan. Kepiting diperbolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hewan yang hidup di dua alam itu haram dan hewan air yang halal hanya ikan.[24][25]

Adz-dzakah memiliki makna membuat baik dan wangi. Penyembelihan disebut adz-dzakah karena diperbolehkannya penyembelihan secara syariat untuk membuatnya menjadi baik. Penyembelihan hewan dapat dilakukan secara dzabh maupun nahr. Semua hewan yang hendak dimakan harus disembelih terlebih dulu, kecuali ikan dan belalang.[26]

Dzabh adalah penyembelihan yang dilakukan dengan memotong tenggorokan, kerongkongan dan kedua urat leher hewan. Cara penyembelihannya adalah hewan direbahkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Selanjutnya penyembelih menyebut "Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar" lalu memotong tenggorokan, kerongkongan dan dua urat leher hewan dengan pisau yang tajam.[27]

Nahr adalah penyembelihan yang dilakukan dengan cara menusuk hewan pada bagian pangkal leher yang terdekat dengan dada (libbah). Penyembelihan secara nahr biasa dilakukan pada unta. Posisi ini memungkinkan alat penyembelihan mengenai jantung sehingga binatang yang akan disembelih mati dengan cepat. Cara penyembelihan dilakukan dengan cara mengikat kaki kiri depan dalam keadaan berdiri. Kemudian penyembelih menusuknya pada bagian libbah dengan membaca "Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar".[27]

Berburu hewan halal yang secara alami masih liar dan sulit ditangkap, kecuali dengan cara tertentu disebut ash-shaid. Hukum berburu adalah mubah (Qur'an Al-Ma’idah:2), kecuali untuk hewan-hewan yang diharamkan. Hal ini berlaku untuk hewan laut dan hewan darat, kecuali dalam keadaan ihram. Berburu diperbolehkan apabila diniatkan untuk penyembelihan. Jika tidak demikian, berburu diharamkan karena merusak dan membunuh hewan tanpa suatu alasan.[30]

Para ulama sepakat bahwa hewan yang boleh diburu adalah binatang laut (berupa ikan dan sejenisnya) dan binatang darat yang halal dimakan serta bukan piaraan. Alat-alat yang boleh digunakan untuk berburu ada yang disepakati bersama dan ada yang diperselisihkan berikut sifat-sifatnya. Alat-alat yang disepakati bersama boleh digunakan untuk berburu antara lain binatang yang dapat melukai (dianjurkan untuk menggunakan hewan-hewan yang sudah terlatih), besi tajam (tombak, pedang dan anak panah) dan benda tumpul (batu, kayu dan sebagainya). Mengenai penggunaan benda tumpul, seperti batu, kayu dan sebagainya, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya benda-benda tersebut digunakan untuk berburu. Sebagian ulama membolehkannya, kecuali jika hewan bisa disembelih. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak, sebagian lainnya membedakan benda-benda tersebut menjadi benda-benda yang dapat menembus tubuh hewan buruan dan yang tidak bisa menembus. Jika menggunakan benda yang bisa menembus, hewan buruan tersebut boleh dimakan. Begitu pula sebaliknya. Pendapat terakhir inilah yang didukung oleh para ulama ahli fikih terkenal di berbagai kota, seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad, Ats-Tsauri dan sebagainya. Menurut mereka, jika tidak menggunakan benda tajam, sembelihan itu tidak sah.[31]

Sebagaimana halnya penyembelihan, pemburu yang menangkap hewan buruan haruslah seorang muslim atau ahli kitab.[32] Jika berburu dilakukan menggunakan hewan pemangsa, seperti rajawali, elang, anjing, harimau dan hewan lain yang dapat dilatih untuk berburu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Orang yang berihram tidak boleh membunuh hewan buruan darat, menangkap atau menunjuknya agar ditangkap, kecuali hewan berbahaya yang biasanya menyerang, seperti singa, serigala, ular, tikus, kalajengking dan anjing buas. Namun, mereka diperkenankan membunuh semua hewan laut, menyembelih hewan ternak yang jinak (misalnya, unta, sapi dan kambing) dan menyembelih unggas yang tidak terbang (misalnya, ayam). Ada pun dalil mazhab Hanafi yang membolehkan orang yang berihram memakan semua hewan buruan yang ditangkap oleh orang lain yang tidak sedang ihram berasal dari hadis Abu Qatadah. Sementara jumhur yang berpendapat mengenai diharamkannya orang yang berihram memakan daging hewan buruan darat yang ditangkapkan untuknya berasal dari hadis ash-Sha'ab bin Jatstsamah.[33].

Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh; sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa, 'Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku!'. Padahal makanannya dari barang yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram. Maka, bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?" (HR Muslim no.1015).[34]

Tujuan dan tugas manusia semasa hidup adalah untuk beribadah dan mengabdi pada Allah (Qur'an Az-Zariyat:56). Oleh karena itu, agar ibadah dan doa seorang hamba dapat diterima oleh Allah, ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib sebagai bagian dari syarat diterimanya ibadah dan doa.[34]

Pada tahun 2008, pasar halal global diperkirakan telah mencapai nilai pasar sebesar US$ 580 miliar per tahun dengan industri makanan halal meningkat sebesar 7% setiap tahunnya. Peningkatan ini didukung oleh pertumbuhan penduduk muslim dan peningkatan kesejahteraan hidup mereka di seluruh dunia. Pertumbuhan pasar halal global juga didukung oleh peningkatan semangat beragama dan keyakinan bahwa produk halal lebih bersih dan sehat.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Suatu saat penulis bertanya kepada seorang guru, dimana posisi hukum dalam agama Islam? Beliau menjawab bahwa hukum merupakan bagian dari Islam. Ajaran hukum lebih kecil dibanding dengan ajaran Islam yang luas antara lain  terkait aqidah, akhlaq, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan hukum umumnya dikaitkan dengan ibadah dan muamalah yang menjadi domain fiqh.

Muhammad Adnan mengatakan, agama diterjemahkan dari bahasa Arab Ad-Din, Asy-syari’ah at-Thoriqoh, dan Millah yang diartikan sebagai peraturan dari Allah untuk manusia berakal, untuk mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia akhirat, bersandar kepada wahyu-wahyu ilahi yang terhimpun dalam Kitab Suci yang diterima oleh Nabi Muhammad.

Islam menurut A. Gaffar Ismail ialah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang berisi kelengkapan dari pelajaran-pelejaran yang meliputi : (a) kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata tertib pergaulan hidup; (e) peraturan-peraturan Tuhan; (f) bangunan budi pekerti yang utama, dan menjelaskan rahasia kehidupan yang akhirat.

Hukum sendiri berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman (masdar) yang dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan menghukum dan memerintah. Hukum juga diartikan dengan memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum dapat dimaknai dengan norma, kaidah, ukuran, tolak ukur, pedoman yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam ushul fiqh, hukum syar’i diartikan dengan khitab (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/mani’)

Maksud dari khitabullah ialah semua bentuk dalil-dalil hukum yang bersumber dari Qur’an, Sunnah serta ijma’ dan qiyas. Menurut Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan upaya ijtihadi untuk menyingkap hukum dari Qur’an dan Sunnah. Kita tahu, ada banyak metode ijtihad untuk menggali hukum syar’i, antara lain : qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, al-‘adah, dan fathu ad-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah.

Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi dua, pertama, hukum taklifi yang terdiri dari al-wujub (wajib), an-nadbu (sunnat), al-ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram). Contohnya, wajib puasa bulan Romadhan, haramnya minum khamar, mubahnya makan minum, serta makruhnya merokok. Kedua, hukum wadh’iy yang didalamnya ada sebab, syarat, mani’, sah-batal, rukhsoh-‘azimah. Contohnya, waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab wajibnya seorang mukallaf menunaikan sholat dzuhur, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, haid menjadi penghalang (mani’) seorang perempuan melakukan kewajiban sholat atau puasa.

Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai agama, dan hukum sebagai bagian dari agama Islam. Perbedaan tersebut sangat kecil, karena itu ada tiga konsep yang wajib diketahui dan dipahami oleh seorang muslim, yaitu syari’ah, fiqh, dan qonun. Mengetahui ketiganya akan mengantarkan kepada seorang muslim untuk mengerti mana wilayah yang tidak mungkin berubah dan tunggal, serta mana wilayah yang bisa berubah dan berbeda-beda tafsirnya.

Menurut Hasbi As-Shiddieqy, syariat berarti jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun yang diasosiakan oleh orang Arab sebagai at-thhariqah al-mustaqimah. Secara terminologi, syariat berarti tata aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti (Qs. Al-Jasiyah : 18). Fiqh menurut Fathurrman Djamil ialah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Fiqh memiliki keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumber pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qonun biasa diartikan dengan Undang-Undang. Ulama’ salaf mendefinisikannya sebagai kaidah-kaidah yang bersifat kully (menyeluruh) yang didalamnya tercakup hukum-hukum juz’iyyah (bagian-bagiannya). Qonun umumnya dibuat oleh pemerintah yang berkuasa.

Syari’ah, fiqh dan qonun berbeda. Ajaran syari’at tedapat dalam Qur’an dan hadist yang tidak mungkin berubah teksnya, bersifat fundamental, abadi karena merupakan ketetapan Allah dan Nabi Muhammad, tunggal yang meperlihatkan konsep kesatuan Islam. Sedangkan fiqh dan qonun merupakan produk pemahaman manusia yang menggali hukum dalam Qur’an dan hadist, bersifat instrumental, mengalami perubahan sesuai waktu, zaman serta keadaan. Realitasnya seperti yang kita ketahui saat ini, dimana produk hukum fiqh dan qonun cenderung berbeda-beda sesuai madzhab yang sangat beragam. Kita bisa lihat perbedaan-perbedaan tersebut dalam kitab-kitab fiqh perbandingan.

Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa saat kita memeluk agama Islam kita satu, syariatnya tunggal yaitu Al-Qur’an dan Hadist, tetapi saat bersamaan kita umumnya mengikuti ‘hukum’ atau ‘qonun’ madzhab tertentu, disitulah beberapa praktik keagamaan umat Islam berbeda-beda. Dalam konteks ini, biar tidak kagetan dan apalagi sampai mengkafirkan, umat Islam dituntut untuk belajar ilmu-llmu yang menjadi basis hukum dalam Islam seperti ilmu Ushul Fiqh, Qowaidul Fiqh, Perbadingan Madzhab, Maqosid Syari’ah, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Ulumul al- Tafsir, dan Ilmu Mantiq (Logika).

Tulisan ini telah dimuat dalam UII News edisi Maret 2021.

YOGYAKARTA- Kajian jelang berbuka di masjid Islamic Center UAD pada hari Sabtu (30/03) membahas tema tentang hukum dan Islam yang disampaikan oleh M. Habibi Miftakhul Marwa SHI, MH (Dosen Fakultas Hukum UAD) selaku pemateri.

Mengutip dari Rene David guru besar hukum dan ekonomi universitas Paris, Habibi menyampaikan bahwa tidak mungkin orang memperoleh gambaran yang jelas tentang Islam sebagai suatu kebulatan, jika orang tidak mempelajari hukumnya. Kemudian kerangka dalam Islam itu ada 3, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Akidah berbicara tentang keyakinan dan keimanan serta bagaimana tentang ketauhidan. Syariah adalah sistem hukum yang ada di dalam ajaran agama Islam. Syariah merupakan kumpulan norma ilahi yang Allah turunkan kepada umat manusia. Akhlak secara garis besar adalah sistem etika dan moral yang ada di dalam ajaran agama Islam. Antara ketiga kerangka tersebut terdapat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan. Islam memiliki kumpulan aturan yang lengkap hampir bisa dikatakan setiap aktivitas yang ada di dalam kehidupan manusia ini Islam memiliki sistem aturan. Aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah dalam syariat itu ada aturan yang mengatur terkait tata cara beribadah dan membangun hubungan dengan Allah SWT. Islam juga mengatur tata cara membangun hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang disebut dengan muamalah.

Kemudian Habibi juga menjelaskan terkait perbedaan syariat dan hukum. Di mana syariat itu adalah kumpulan norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (ibadah), hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan (muamalah).

Dan hukum merupakan suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur atau mengatur masyarakat atau aturan apapun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti aturan dari perlemen. Manusia harus di atur agar manusia bisa hidup tertib agar tidak terjadi konflik. Dia juga menyampaikan bisa disebut hukum apabila memenuhi 4 unsur yaitu ada aturan, ada yang membuat, bersifat memaksa, ada sanksinya bagi para pelanggar aturan.

“Kedudukan hukum dalam Islam saling terikat karena Islam menjadi agama paripurna yang berisi aturan-aturan dan yang menjadi sumber hukum utama dalam Islam adalah Alquran dan hadis. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum umat Islam.” Terangnya.

Dalam Alquran memiliki kandungan hukum, seperti pada surat surat madaniyah kandungannya berkaitan dengan hukum. Ayat-ayat hukum di dalam Alquran ada sekitar 368 ayat atau sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat di dalam Alquran. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum telah meletakkan hukum-hukum modern di tengah masyarakat arab yang masih jahiliah. Nabi Muhammad datang membawa perubahan terkait sistem hukum yang ada di Arab pra Islam. (Ekha Yulia Ningsih)

GAME JUDI TANPA BERJUDI, HARAMKAH?

Assalamualaikum ustad, kali ini saya ingin bertanya dan membahas tentang perihal game online

saya yakin ustad pernah mendengar tentang game online,atau mungkin pernah melihat orang memainkannya. Ya,game online telah menjadi suatu hal yang tersebar luas dan banyak sekali digemari oleh kalangan anak muda zaman sekarang, termasuk diri saya,dan juga teman-teman saya. (Contoh adalah seperti mobile legends, atau pubg). Saya akan mencoba untuk menjelaskan dengan rinci agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kesalahan atau ustad bisa mencoba untuk menelusuri seperti apa game-game ini sendiri

Jadi sistem dari game online ini adalah dimana pemain memilih karakter untuk dimainkan,tiap karakter mempunyai keahlian atau istilahnya "skill" yang berbeda-beda biasanya sihir atau teknologi, yang kemudian pemain tersebut dipertemukan oleh beberapa pemain lain secara acak dengan online, dan mempunyai objektif untuk meraih kemenangan,entah itu menghancurkan bangunan inti lawan atau meng eliminasi pemain lain, inilah inti dari permainan tersebut, dan permainan ini bisa dibilang mengasah karena kebanyakan mengandalkan keahlian pemain,entah itu keahlian menggunakan kemampuan karakter yang dimainkan,ataupun keahlian untuk berkomunikasi dengan rekan sesama tim, namun ada juga hal yang menurut saya diharamkan, karena biasanya ada unsur membuka aurat(,atau musik,(ini sebenarnya dimana-mana juga ada jadi tolong jangan terlalu permasalahkan unsur ini).

Yang saya benar-benar permasalahkan adalah terdapatnya unsur judi dalam game online tersebut, tapi sebenarnya unsur ini merupakan unsur sampingan yang bisa dihindari dengan mudah,biasanya digunakan untuk mendapat barang atau "item" atau "skin" tertentu di game yang hanya berguna untuk memperbagus karakter ataupun nuansa dan tidak ada hubungan dengan jalannya permainan (mungkin beberapa game ada), tetapi saya membahas beberapa game yang populer dulu saja.

Maka dari itu,tak jarang dari kami yang memainkan game ini, bahkan kami juga sering membahas tentang turnamen atau lomba dari game-game ini, serta belajar bermain dari pemain yang lebih handal yang bermain di turnamen-turnamen tersebut dengan menonton cara mereka bermain,atau juga mengikuti "update" terbaru dari game tersebut dan mencari tahu strategi bermain baru.

1. Apakah boleh memainkan game tersebut apabila menjauhi unsur judi tersebut?

2. Mungkin di game tersebut terdapat hal lain yang menggunakan sistem persentase atau acak namun tidak menggunakan uang dan bisa didapatkan secara gratis karena memainkan game tersebut,apakah hal ini juga termasuk judi?

3. Sebelumnya saya pernah melakukan "judi" tersebut,namun saya telah bertekad untuk tidak melakukannya lagi. Apa nasib dari barang atau "item" yang telah saya dapatkan di game tersebut sebelumnya? apakah boleh saya pakai karena saya tak akan melakukannya lagi,atau tetap haram karena cara yang saya gunakan untuk mendapat item tersebut,karena item tersebut tidak bisa dibuang ataupun dijual.

Saya mencoba untuk menjauhinya tetapi hal ini sudah menjadi keseharian saya dan teman-teman saya, dan saya bingung menyikapinya,jujur saja saya masih ingin bermain bersama mereka kembali dan tak ingin menjauhi mereka karena mereka teman-teman saya, mereka mungkin belum mengetahui atau berpikir terlalu dalam tentang hal ini, berbeda kasusnya dengan saya, apa yang sebaiknya saya lakukan ya ustad,saya ingin bermain kembali namun saya takut karena saya pernah melakukan hal buruk tersebut.

1. Hukum asal dari game adalah boleh. Sebagaimana hukum asal dari semua hal yang tidak ada aturan halal dan haramnya dalam syariah. Namun, hukum asal yang boleh itu bisa berubah menjadi haram apabila terdapat hal baru yang haram. Baik hal baru itu menjadi bagian dari game itu sendiri atau menjadi penyebab saja. Misalnya, saking asyiknya main game sampai meninggalkan shalat.

مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلَالٌ ، وَمَا حَرَّمَ فَهوَ حَرَامٌ ، وَمَا سَكَتَ عَنهُ فَهُوَ عَفْوٌ

Artinya: Hal yang dihalalkan Allah dalam Al-Quran maka ia halal. Perkara yang diharamkan Allah adalah haram. Hal yang tidak disebut hukumnya dimaafkan. (Hadis riwayat Dariqutni dalam Al-Sunan, hlm. 3/209, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak hlm. 2/137, Tabrani dalam Musnad Al-Syamiyin hlm. 10/12. Hadis ini sahih menurut sebagian muhaddis).

Dari hadis di atas kemudian ulama fikih memunculkan kaidah:

الأصل في الأشياء الإباحة حتي يدل الدليل حتى يدل الدليل على التحريم

Artinya: Hukum asal dari sesuatu itu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

2. Tidak termasuk judi kalau salah satu atau kedua pihak yang terlibat tidak sampai mengeluarkan sesuatu yang bernilai harta. Sebagaimana umumnya definisi judi. Begitu juga, tidak termasuk sihir yang diharamkan adanya game yang ada nama sihir di dalamnya. Karena sihir yang haram itu adalah sihir di dunia nyata dengan segala definisinya yang antara lain mencelakakan orang lain, dan bersekutu dengan setan, dll. Baca detail:

3. Judi dalam game tidak masalah selagi itu hanya nama tanpa esensi dan hanya terbatas pada game belaka. Judi yang diharamkan adalah apabila melibatkan taruhan harta atau apapun yang bernilai harta di dalamnya. Misalnya, anda bermain game pubg dengan teman dengan perjanjian yang menang akan mendapat uang sekian juta, dll. Ini namanya judi.

Dalam ilmu fikih, definisi judi atau al-qimar/al-maisir adalah sbb:

فكل معاملة لا يخلو فيها إما أن يكون غارما أو غانما ، فإنها من الميسر المحرم ؛

Artinya: Setiap muamalah yang mana ada pihak yang rugi atau beruntung, maka itu termasuk judi yang diharamkan.

Dalam QS An-Nisa 4:29 Allah berfirman:

قال الله تعالى :( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ) لهذه الآية :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

Al-Baghawi dalam Tafsirnya, hlm. 2/199, menjelaskan maksud QS An-Nisa 4:29 di atas sbb:

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل" بالحرام ، يعني: بالربا والقمار والغصب والسرقة والخيانة ونحوها " انتهى

Artinya: Maksud memakan harta dengan jalan batil adalah dengan cara riba, judi, ghosab, mencuri, khianat, dll. Baca detail:

tirto.id - Meminum khamar dan berjudi merupakan dosa besar dalam ajaran agama Islam. Khamar yaitu tiap-tiap hal (minuman atau bentuk lain) yang dapat memabukkan dan hukumnya haram.

Sedangkan, judi merupakan suatu kegiatan dengan hasil yang tidak terduga sebelumnya dan hukumnya dilarang dalam Islam.

Allah SWT melarang hambanya yang beriman untuk melakukan tindakan meminum khamar dan berjudi. Hal tersebut, terkandung dalam QS Al Maidah Ayat 90 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamr, berjudi, (berkorbang untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan.”

Dalam ayat di tersebut disebutkan bahwa perilaku berjudi dan meminum khamar merupakan perbuatan setan. Hal ini berarti bahwa kegiatan seperti itu harus dihindari. Perbuatan meminum khamar dan berjudi tidak akan mendapatkan rida Allah SWT serta dijauhkan dari keberuntungan.

Dikutip dari JurnalHukum Khamr dalam Perspektif Islam oleh Hamidullah Mahmud (2020), larangan mengenai meminum khamar dan berjudi sangat berdekatan karena pada masa jahailiyah jika ada kumpulan orang yang sedang meminum khamar pasti akan diberangi dengan perjudian.

Hal tersebut seperti sudah menjadi tradisi turun-temurun pada masa tersebut.