Pakaian Tradisi Jawa

Pakaian Tradisi Jawa

tirto.id - Bulan Suro 2024 sampai kapan? Berapa jumlah hari dalam bulan Suro 2024? Lantas, apa saja larangan dan tradisi di Jawa ketika memasuki bulan Suro?

Bulan Suro adalah bulan pertama dalam Kalender Jawa. Bulan ini menandai adanya pergantian dari tahun yang lama ke tahun yang baru. Pada 2024, bulan Suro bakal menjadi bulan pembuka tahun Jawa 1958, setelah tahun 1957 rampung.

Mengacu pada kalender Jawa terbaru, tahun 1957 akan berakhir pada Sabtu Wage, 6 Juli 2024, bertepatan dengan tanggal 29 Besar. Keesokan harinya, pada Minggu Kliwon, 7 Juli 2024, kalender akan berganti ke tanggal 1 Sura 1958.

Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa bulan Suro merupakan bulan yang cukup sakral. Terdapat sejumlah pantangan atau larangan yang tak boleh dilakukan di bulan ini. Bersamaan dengan itu, berbagai tradisi juga diselenggarakan untuk menyambut bulan Suro.

Bulan Suro 2024 Sampai Kapan?

Bulan Suro 2024 akan berlangsung sampai 30 hari. Awal bulan Suro 1958 (Tahun Jawa) bakal jatuh pada hari Minggu Kliwon, 7 Juli 2024. Adapun akhir dari bulan Suro tahun ini akan bertepatan dengan hari Senin Wage, 5 Agustus 2024.

Periode bulan Suro dimulai dari tanggal 1 hingga 30 Suro. Kata Suro diketahui berasal dari Bahasa Arab, yaitu Asyura. Asyura memiliki arti sepuluh atau hari ke-10 dalam bulan Muharram.

Bulan Suro menjadi bulan pertama dalam kalender Jawa. Kalender ini berlaku sejak zaman Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Di sisi lain, bulan Suro dikenal dengan sebutan Muharram di kalangan umat Islam.

Dalam kepercayaan umat Islam, bulan Muharram dijuluki sebagai "bulan Allah". Muharram tergolong sebagai bulan yang mulia. Berbagai amalan sunnah dianjurkan untuk dilakukan di bulan Muharram, seperti puasa dan sedekah.

Berikut ini adalah daftar tanggal di bulan Suro 1958:

7 Juli 2024 = Minggu Kliwon, 1 Sura 1958 / Tahun Baru Islam 1446 H

8 Juli 2024 = Senin Legi, 2 Sura 1958

9 Juli 2024 = Selasa Pahing, 3 Sura 1958

10 Juli 2024 = Rabu Pon, 4 Sura 1958

11 Juli 2024 = Kamis Wage, 5 Sura 1958

12 Juli 2024 = Jumat Kliwon, 6 Sura 1958

13 Juli 2024 = Sabtu Legi, 7 Sura 1958

14 Juli 2024 = Minggu Pahing, 8 Sura 1958

15 Juli 2024 = Senin Pon, 9 Sura 1958

16 Juli 2024 = Selasa Wage, 10 Sura 1958

17 Juli 2024 = Rabu Kliwon, 11 Sura 1958

18 Juli 2024 = Kamis Legi, 12 Sura 1958

19 Juli 2024 = Jumat Pahing, 13 Sura 1958

20 Juli 2024 = Sabtu Pon, 14 Sura 1958

21 Juli 2024 = Minggu Wage, 15 Sura 1958

22 Juli 2024 = Senin Kliwon, 16 Sura 1958

23 Juli 2024 = Selasa Legi, 17 Sura 1958

24 Juli 2024 = Rabu Pahing, 18 Sura 1958

25 Juli 2024 = Kamis Pon, 19 Sura 1958

26 Juli 2024 = Jumat Wage, 20 Sura 1958

27 Juli 2024 = Sabtu Kliwon, 21 Sura 1958

28 Juli 2024 = Minggu Legi, 22 Sura 1958

29 Juli 2024 = Senin Pahing, 23 Sura 1958

30 Juli 2024 = Selasa Pon, 24 Sura 1958

31 Juli 2024 = Rabu Wage, 25 Sura 1958

1 Agustus 2024 = Kamis Kliwon, 26 Sura 1958

2 Agustus 2024 = Jumat Legi, 27 Sura 1958

3 Agustus 2024 = Sabtu Pahing, 28 Sura 1958

4 Agustus 2024 = Minggu Pon, 29 Sura 1958

5 Agustus 2024 = Senin Wage, 30 Sura 1958

Larangan-Larangan Bulan Suro di Jawa

Bulan Suro umumnya cukup familiar dengan berbagai larangan yang mengemuka. Sejumlah larangan tersebut berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan membawa konsekuensi tersendiri jika tidak diikuti.

Kendati begitu, larangan yang ada di bulan Suro cenderung mendekati mitos. Sulit membuktikan kebenaran larangan-larangan ini. Namun demiian, masyarakat di Jawa tetap diberi kebebasan untuk mempercayai mitos tersebut ataupun tidak.

Berikut ini daftar adalah larangan yang terdapat di bulan Suro:

1. Tidak boleh keluar rumah. Larangan ini merupakan anjuran agar masyarakat Jawa tetap berada di dalam rumah. Sebab, malam 1 Suro dianggap sebagai momen ketika hal-hal buruk tengah bertebaran di luar rumah.

2. Hindari membuat acara pernikahan. Terdapat kepercayaan bahwa menggelar acara pernikahan di bulan Suro bisa mendatangkan kesialan. Berbagai ritual dianggap sedang berlangsung di bulan ini. Karena itu, tak baik jika menghelat pernikahan di bulan Suro.

3. Dilarang membakar sampah. Masyarakat Jawa meyakini bahwa membakar sampah di malam 1 Suro bisa menimbulkan nasib buruk. Api dianggap mengandung kekuatan mistis yang memicu kedatangan makhluk gaib.

4. Jangan membuka proyek besar. Tak hanya malam 1 Suro, terdapat pula pantangan di malam 2 Suro. Pantangan ini berupa larangan untuk membuka proyek besar atau usaha baru.

5. Jangan pindah rumah. Hal buruk dipercaya bakal menimpa orang yang pindah rumah di tanggal 1 Suro. Masyarakat Jawa umumnya akan menghindari kegiatan tersebut dan memilih menundah jadwal pindah rumah.

Jenis, Fungsi, dan Penjelasan Pakaian Adat Jawa Barat

Sama dengan pakaian adat wilayah lain, pakaian adat yang dimiliki Jawa Barat memiliki keunikan tersendiri. Karena keunikan tersebut, masing-masing pakaian adat menggambarkan bagaimana karakter, pola hidup, dan nilai-nilai yang digenggam oleh masyarakat setempat.

Grameds, di bawah ini akan kita bahas mendalam hingga tuntas mengenai pakaian adat Jawa Barat.

Kebaya menjadi pilihan banyak adat untuk dijadikan pakaian atasan wanita. Misalkan saja Jawa Timur dan Jawa Tengah yang juga memiliki kebaya untuk dikenakan para wanitanya. Sunda pun juga memiliki kebaya khas Sunda yang tentunya memiliki ciri khas tersendiri.

Kebaya Jawa pada umumnya memiliki desain kerah membentuk huruf V (V-neck), sementara kebaya Sunda didesain dengan kerah berbentuk huruf U (U-neck). Kebaya Jawa pada umumnya panjangnya hingga menutupi pinggul, sementara Kebaya Sunda panjangnya hingga menutupi pinggul dan paha, bahkan tidak jarang ditemukan lebih panjang lagi.

Warna yang dipilih untuk Kebaya Sunda adalah warna-warna yang cerah seperti merah, marun, ungu muda, dan putih. Kebaya ini digunakan oleh wanita Sunda dari kalangan rakyat biasa dan kalangan menengah.

Sementara bawahannya berupa kain jarik yang dililitkan. Tak lupa para wanita Sunda menggunakan perhiasan dan aksesoris seperti kalung, anting, giwang, tusuk konde, cincin, dan gelang.

Suku Betawi juga memiliki baju Pangsi sebagai pakaian adat. Jika di Betawi ada beberapa jenis warna baju Pangsi mulai dari hitam, putih, hijau, dan merah, maka di Sunda baju Pangsi hanya memiliki satu warna, yaitu hitam.

Biasanya, pangsi digunakan oleh rakyat biasa. Model jahitan dan tampilan yang sangat simpel, pakaian ini menampakkan kesederhanaan. Oleh karen itu, pada jaman dulu pakaian ini kebanyakan dipakai oleh para petani dan buruh. Namun sekarang siapa saja bebas menggunakan pakaian ini, termasuk kalangan menengah ke atas. Tentunya dengan model jahitan dan bahan yang lebih bagus.

Baju atasannya disebut Salontreng dan dipasangkan dengan celana pangsi yang juga berwarna hitam agar selaras dengan atasannya. Celana pangsi ini bermodel komprang sehingga tidak ketat dan longgar dengan panjang ke bawah tidak melebihi mata kaki.

Agar celana tersebut dapat terikat kuat, para pria menggunakan ikat pinggang yang terbuat dari kulit ataupun kain yang diikatkan di pinggang. Tidak jarang ada sarung poleng yang diselampirkan secara menyilang dari bahu ke pinggang pria. Sebagai penutup kepala, dikenakan ikat kepala yang disebut dengan logen dengan model Hanjuang Nangtung atau Barambang Semplak. Sebagai alas kaki, pria Jawa Barat menggunakan tarumpah yang pada umumnya terbuat dari kayu.

Dalam Bahasa Indonesia, mojang artinya gadis atau perawan. Secara sederhana, mojang adalah wanita yang belum menikah. Sementara jajaka artinya perjaka atau laki-laki yang belum pernah menikah. Dari namanya sudah bisa kita tebak bahwa pakaian adat ini biasanya digunakan oleh pemuda dan pemudi yang belum menikah. Pada umumnya pakaian ini digunakan dalam acara resmi.

Pakaian laki-laki terdiri atas jas tertutup atau beskap yang berwarna polos. Beskap atau jas tertutup tadi memiliki berkerah sekitar 3-4 cm tanpa disertai lipatan. Warna yang digunakan bisa hitam, biru, putih, dan warna lainnya.

Agar selaras dengan atasannya, bawahan laki-laki dalam setelan pakaian adat ini berupa celana panjang yang warnanya senada dengan beskap. Celana tersebut dilapisi dengan kain jarik bermotif batik yang dililitkan di pinggang dan diatur sedemikian rupa hingga dapat memanjang ke bawa sampai paha.

Agar terlihat semakin resmi dan rapi, alas kaki yang digunakan adalah sepatu pantofel yang melapisi kaki berbalut kaos kaki. Namun, terkadang ada pula Jajaka Jawa Barat yang mengenakan selop sebagai alas kaki. Terakhir, sebagai penutup kepala, digunakanlah bendo.

Sementara itu, pakaian wanita terdiri atas kebaya sebagai setelan atasannya. Kebaya tersebut biasanya polos namun ada juga yang bermotif meski tidak dominan. Warnanya bisa bermacam, mulai dari hitam, biru, putih, dan warna lainnya. Namun selalu disesuaikan dengan warna jas tertutup atau beskap yang digunakan oleh Jajaka agar tampak serasi.

Sementara itu, bawahan yang dipakai oleh para mojang Jawa Barat berupa kain kebat bermotif batik yang dililitkan di pinggang. Berbeda dengan bawahan jajaka, bawahan mojang ini warnanya tidak senada dengan atasannya.

Untuk meyakinkan lilitan kain kebat benar-benar kencang, dipasangkan beubeur yang berfungsi sebagai ikat pinggang. Tidak lupa digunakan selendang atau karembong. Sementara, untuk alas kaki, para mojang mengenakan selop atau sepatu yang warnanya sama dengan baju kebayanya.

Tak lengkap tanpa perhiasan dan aksesoris lainnya, mojang menggunakan cincin, gelang, peniti rantai, bros, sanggul, dan hiasan-hiasan lainnya. Bagi mojang yang memakai hijab, warna hijab menyesuaikan dengan warna kebaya.

Kebaya Jawa Tengah

Banyak daerah yang menggunakan kebaya sebagai pakaian adat masing-masing yang dikhususkan untuk para wanita. Sebut saja Kebaya Rancongan dari Madura, Kebaya Sunda dari Sunda, Kebaya Betawi dari Betawi, dan lainnya. Sementara itu, istilah kebaya sendiri sebenarnya berasal dari Bahasa Arab Abaya yang berarti pakaian.

Kebaya Jawa Tengah tentunya memiliki keunikan tersendiri. Dengan tampilan yang tampak klasik namun berkelas, kebaya Jawa Tengah sedikit menyimpan kesan misterius. Kebaya Jawa Tengah seringkali digunakan oleh mempelai wanita dalam acara pernikahan.

Agar tampak mewah dan muncul aura ratu, bahan yang dipilih merupakan bahan beludru atau kain sutera. Sedangkan untuk kegiatan sehari-hari, kain yang digunakan adalah kain katun atau bahkan nilon tipis agak transparan yang dihiasi dengan sulaman atau bordiran.

Namun demikian, kebaya ini juga sering digunakan acara wisuda, acara adat, menyambut kedatangan tamu, dan peringatan hari besar.

Pada umumnya kebaya ini berwarna hitam. Untuk memastikan bagian dada tertutup dengan aman, wanita Jawa Tengah menggunakan kemben sebagai dalaman. Keelokan kebaya diselaraskan dengan bentuk tubuh wanita yang sedap di mata sehingga perlu stagen untuk mengencangkan bagian perut dan pinggang. Agar stagen tidak terlihat dari luar, diperlukan tapih tanjung.

Di bagian bawah, para wanita Jawa Tengah mengenakan kain panjang yang disebut jarik. Kain jarik ini bermotif batik.

Agar semakin terlihat anggun namun tegas, rambut wanita ditata berbentuk konde dengan hiasan bunga melati di atasnya. Agar semua kecantikan tersebut semakin sempurna, perlu sekali menambahkan perhiasan seperti subang, kalung, cincin, gelang, dan terkadang membawa aksesoris satu lagi, yaitu kipas.

Penjelasan di atas merupakan kebaya tradisional sesuai dengan kebaya pada masa awal. Untuk jaman sekarang, tidak sedikit kebaya yang didesain dengan warna yang beragam dan lebih trendi karena tingginya minat masyarakat. Terlebih saat ini sudah mulai banyak kebaya yang diperuntukkan untuk wanita berhijab, tentu memerlukan penyesuaian agar dapat menutup aurat dengan sempurna.

Budaya memiliki filosofi tersendiri mengenai pemakaian kebaya. Kesabaran dan lemah lembut merupakan makna yang tersimpan dalam kebaya. Jika diperhatikan seksama, potongan kebaya selalu mengikuti bentuk tubuh. Artinya, perempuan Jawa diharuskan bisa menyesuaikan diri dan menjaga diri sendiri di manapun mereka berada.

Pakaian ini dulunya diperuntukkan khusus untuk anggota kerajaan yang berasal dari bangsawan ataupun abdi dalem (aparatur sipil). Sehingga tidak sembarang orang dapat memakai pakaian Surjan. Umumnya pakaian Surjan digunakan saat acara resmi berlangsung.

Baju Surjan tampak mirip dengan beskap disertai motif lurik-lurik coklat dan hitam yang id bagian depannya terdapat saku. Bawahannya merupakan kain panjang bermotif batik yang dililitkan di pinggang dan panjangnya hingga mata kaki.

Sebagai penutup kepala, para pria dapat menggunakan blangkon yang terbuat dari kain batik. Kain tersebut dililitkan di kepala lalu diikat. Untuk saat ini, dapat ditemukan blangkon instan yang sudah jadi sehingga memudahkan para pria untuk mengenakannya.

Dalam tradisi Jawa, disebutkan bahwa laki-laki memiliki rambut panjang adalah aib sehingga harus ditutup dengan blangkon. Di bagian belakang blangkon dapat Anda temui tonjolan yang disebut mondolan.

Sementara itu, jika Grameds perhatikan dengan teliti, akan Anda temukan dua ikatan di bagian belakang yang melambangkan dua kalimat syahadat yang diikat dengan kuat. Artinya, hendaknya seseorang yang memakai blangkon memegang teguh pada ikatan yang kokoh, yakni ajaran Islam.

Dulunya, Kanigaran merupakan pakaian yang sering digunakan oleh para raja. Dari penampilannya saja sudah menampakkan keagungan dan kekuasaan. Namun saat ini sering digunakan untuk acara pernikahan.

Untuk pria, atasan pakaian adat Jawa Tengah satu ini berupa beskap berkerah yang terbuat dari beludru halus dan dihiasi sulaman-sulaman emas di bagian depan dan kedua ujung lengan. Agar tampak mewah dan elegan ditambahkan kesan mengkilap. Sementara untuk wanita, juga mengenakan warna yang senada dengan prianya namun tanpa kerah.

Bagian bawah kanigaran adalah Dodoran atau Kampuh yang berbeda dengan kain jarik biasa. Dibandingkan dengan jarik biasa, dodotan relatif lebih berwarna. Pemakaian Dodot tidak cukup hanya dililitkan di pinggang, namun juga disampirkan di tangan.

Baca juga: Tari Jaipong

Selain pakaian Kanigaran, pakaian Basahan juga sering dipakai oleh para pengantin saat pernikahan mereka. Setelan pakaian ini merupakan warisan dari Kerajaan Mataram yang menjadi kerajaan besar di Jawa.

Penampilan Basahan sangat mencolok karena tidak memakai atasan untuk menutup tubuh bagian atas. Riasan yang digunakan ketika memakai Basahan dinamakan Paes Ageng Kanigaran. Para pria tidak menggunakan baju alias bertelanjang dada.

Di bagian dada terdapat semacam kalung yang melambangkan kemewahan. Untuk bawahan, para pria menggunakan kain dodot yang menutupi pusar. Sebagai penutup kepala, pengantin pria mengenakan kuluk yang memiliki beberapa macam warna. Tidak lupa para pria membawa senjata berupa keris untuk menunjukkan kekuatan.

Sementara itu, para wanita membiarkan bahu dan dada bagian atas terbuka. Agar tetap sopan, para wanita menggunakan kemben untuk menutupi tubuh bagian atas lainnya. Sementara bawahannya, para wanita juga menggunakan Dodot.

Rambut ditata membentuk konde dan dihiasi dengan bunga-bunga di atasnya. Di lehernya juga menjuntai kalung yang indah. Baik pria maupun wanita, di kedua pangkal lengannya terdapat hiasan.

Secara keseluruhan, filosofi yang terkandung dalam pakaian ini sangat dalam. Dengan menggunakan pakaian ini, pengantin dianggap telah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Makna tersebut disimbolkan melalui busana dan tata rias yang digunakan.

Busana Basahan mengandung harapan agar mempelai dapat menjalani rumah tangga yang harmonis, sejahtera, bahagia, dan dapat berjalan selaras dengan alam.

Buku Yang Akan Menambah Wawasanmu Tentang Pakaian Adat Jawa Tengah dan Nusantara

Bisa dikatakan, pakaian adat Jawa Tengah yang resmi adalah pakaian Jawi Jangkep. Pakaian ini didominasi oleh warna hitam pada atasannya dan digunakan oleh pria. Pasangan dari pakaian ini adalah Kebaya Jawa Tengah. Sehingga para wanita yang menyertai pasangannya saat acara resmi mengenakan pakaian Jawi Jangkep.

Pakaian ini berupa beskap hitam yang disertai motif bunga keemasan di bagian tengahnya. Beskap ini berkerah agak tinggi dan tidak memiliki lipatan. Di lehernya, pria Jawa Tengah mengenakan untaian bunga melati yang dikalungkan.

Bagian depan dan belakang sebelah bawah baju Jawi Jangkep ini sengaja dibuat tidak simetris. Bagian depan dibuat lebih panjang dibandingkan bagian belakang sebagai antisipasi untuk menyimpan keris. Peletakan keris di belakang bermakna agar manusia dapat menolak segala rupa godaan setan dan keris merupakan simbol perlawanan.

Baju Jawi Jangkep tersebut diselaraskan dengan kain jarik panjang yang dikenakan dengan cara melilitkannya di pinggang. Sebagai penyempurna, digunakan penutup kepala berupa blangkon. Arti penggunaan blangkon sendiri untuk menunjukkan bahwa laki-laki yang memakainya adalah laki-laki yang menutupi aib.

Pakaian Jawi Jangkep yang berwarna hitam digunakan untuk  acara-acara resmi. Sementara pakaian Jawi Jangkep Padintenan memiliki warna selain hitam dan biasanya digunakan dalam kegiatan sehari-hari.

Sebagai informasi tambahan, pakaian Jawi Jangkep juga dikenal dengan Piwulang Sinandhi. Kancing yang terpasang di dalam beskap memberikan isyarat agar pria Jawa Tengah selalu bertindak cermat dan penuh perhitungan dalam melakukan segala sesuatu.

Pada awalnya, beskap dan pakaian Jawi Jangkep merupakan satu kesatuan. Dengan kata lain, beskap merupakan bagian dari pakaian Jawi Jangkep. Namun seiring berjalannya waktu, beskap seringkali dipakai oleh pria secara terpisah.

Warna kain yang sering digunakan untuk membuat beskap adalah polos atau hitam. Dengan desain sederhana dan kerah lurus tanpa lipatan, model beskap dibuat tidak simetris sebagai berjaga-jaga untuk menyimpan keris.

Selama ini, dikenal empat macam jenis beskap di Jawa Tengah. Pertama, Beskap Gaya Jogja berkiblat pada pakem Keraton Yogyakarta. Kedua, Beskap Landung dengan bagian depan lebih panjang. Ketiga, Beskap Gaya Kulon yang sering digunakan di daerah Purwokerto, Tegal, Banyumas, dan daerah-daerah lain yang dekat dengan Jawa Barat. Keempat, Beskap Gaya Solo yang mengacu pada pakem  Keraton Surakarta.

Sama fungsinya seperti blankon, yaitu sebagai penutup kepala pada pria. Hanya saja, bentuk dari kuluk lebih tinggi dan strukturnya lebih kaku. Penggunaan Kuluk diselaraskan dengan pemakaian pakaian Basahan atau Kanigaran dan dulunya dipakai oleh para raja atau Sultan. Saat ini, penutup kepala ini digunakan saat acara pernikahan oleh mempelai pria.

Sama seperti Jawa Timur dan Yogyakarta, salah satu senjata tradisional Jawa Tengah adalah keris. Gagang keris dibuat menghadap ke kanan sebagai perlambang kecenderungan terhadap kebenaran. Kemudian ujung gagangnya seakan menunduk ke bawah untuk menandakan kerendahan hati manusia yang membawanya. Meskipun membawa senjata, pria yang menggunakan keris harus memiliki kerendahan hati.

Grameds, akhirnya selesai sudah pembahaan kita mengenai pakaian adat Jawa Tengah. Jika Anda mencari #SahabatTanpaBatas untuk menyegarkan dahaga akan ilmu pengetahuan, maka Gramedia siap jadi yang terdepan karena kami telah menyiapkan buku-buku terbaik untuk Anda.

Sekilas Mengenai Jawa Barat

Dikenal sebagai provinsi dengan populasi terpadat, Jawa Barat memiliki lebih dari 48 juta jiwa penduduk. Jawa Barat memiliki beberapa suku asli, yaitu suku Sunda, suku Cirebon, dan lainnya. Besarnya dominasi suku Sunda di provinsi ini menjadikan suku Sunda merupakan suku terbesar kedua dalam hal banyaknya populasi mereka.

Di Sunda, diajarkan beberapa bahasa, mulai dari bahasa Sunda, bahasa Jawa dialek Cirebon, dan bahasa Cirebon. Adanya beberapa wilayah yang didiami oleh suku Betawi memunculkan usulan agar Bahasa Melayu berdialek Betawi diajarkan sebagai pendidikan bahasa daerah setempat.

Tradisi Bulan Suro di Jawa

Masyarakat di Jawa memiliki bermacam tradisi ketika kalender Jawa telah memasuki bulan Suro. Tradisi ini berawal dari kepercayaan bahwa bulan Suro merupakan bulan yang sakral atau suci.

Kesakralan bulan Suro menjadi waktu yang tepat untuk lebih banyak melakukan perenungan, introspeksi, dan sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Untuk itu, berbagai tradisi diadakan di bulan Suro.

Tradisi yang cukup terkenal di bulan Suro adalah kirab atau iring-iringan. Acara tersebut biasanya diadakan di malam 1 Suro. Di Keraton Surakarta, acara kirab melibatkan kebo bule milik keraton yang diyakini keramat.

Berbeda dengan Surakarta, sejumlah masyarakat di Yogyakarta akan mengisi malam 1 Suro dengan menjalankan tradisi Tapa Bisu. Kegiatan ini adalah jalan-jalan mengelilingi keraton Yogya tanpa mengucap sepatah kata pun.

Sementara itu, masyarakat di Jawa juga mengenal tradisisuroan di malam 1 Suro. Warga akan berkumpul di dalam masjid untuk melakukan suatu upacara. Sebagian masyarakat juga bakal menjalani laku prihatin dengan tidak tidur semalaman.

Acara kebudayaan menjadi tradisi lain dalam bulan Suro. Di Klaten, warga bakal mengadakan selametan (kenduri) massal dan menggelar pertunjukan Wayang Kulit di malam hari, bertepatan dengan tanggal 7 Suro.

Bulan Suro dirayakan oleh warga Temanggung, Jawa Tengah dengan menyanyikan Kidung Jawa berjudul Dhandang Gula secara bersama-sama. Tradisi ini berlanjut dengan Kacar-kucur dan membaca doa keselamatan yang dipimpin kaur keagamaan.

Pakaian Adat Jawa Tengah – Dinobatkannya batik Indonesia sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2009, mendorong UNESCO untuk menegaskan kepada Indonesia agar menjaga kelestarian warisan tersebut. Sebagai provinsi yang terkenal dengan batiknya, Jawa Tengah memiliki pakaian adat berupa batik. Tapi Grameds, pakaian adat Jawa Tengah bukan hanya batik lho. Apa saja? Nah sekarang giliran kita nih bahas pakaian adat daerah ini.

Jawa Tengah memiliki budaya yang sangat erat kaitannya dengan budaya Jawa (Kejawen). Keraton Surakarta merupakan pusat dari kebudayaan di Jawa Tengah. Oleh karenanya, Keraton Surakarta menjadi tujuan pagelaran seni dan budaya di provinsi ini.

Secara garis besar, budaya Jawa Tengah terbagi menjadi dua macam, yakni Jawa Banyumasan dan Jawa Pesisiran. Kebudayaan Jawa Banyumasan merupakan hasil perpaduan budaya Jawa, Cirebon, dan Sunda. Sementara itu, Budaya Jawa Pesisiran merupakan hasil dari perpaduan budaya Jawa dan Islam.

Meski terbagi menjadi dua jenis, budaya Jawa Tengah memiliki banyak kemiripan dengan DIY Yogyakarta dan Jawa Timur. Dari segi bahasa, kebiasaan masyarakat, norma, dan dialek tidak jauh beda dengan dua daerah tersebut. Wajar jika pakaian adat yang dikenakan tidak jauh berbeda dan saling memberikan pengaruh terhadap satu sama lain.

Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang masyarakatnya dikenal teguh menjaga warisan leluhur. Tradisi yang lama berlangsung tersebut dijaga dan diselaraskan dengan kemajuan jaman, bahkan kemajuan teknologi dimanfaatkan penduduknya untuk memperkenalkan budaya mereka. Batik salah satunya.

Meskipun banyak daerah yang memiliki jenis batik sendiri, tak dapat dipungkiri batik khas Jawa Tengah merupakan batik yang sering ditampilkan ke khalayak publik.

Terkait suku, tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Jawa mempunyai jumlah yang paling banyak di tanah air. Dan jaman dahulu, pusat-pusat kejayaan Jawa banyak yang berada di Jawa Tengah. Sebut saja Kerajaan Mataram, baik Mataram Hindu maupun Mataram Islam. Keduanya berada di Jawa Tengah. Oleh sebab itu, tidak heran jika budaya Jawa, khususnya Jawa Tengah menginspirasi banyak daerah-daerah lain dalam hal budaya, tak terkecuali pakaian adat.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Penulis: Nanda Iriawan Ramadhan

Pakaian Adat Jawa Barat – Budaya Jawa Barat banyak mendapatkan pengaruh dari budaya Sunda. Hal ini tidak mengherankan sebab mayoritas suku yang ada di Provinsi Jawa Barat merupakan Suku Sunda. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pakaian adat Jawa Barat juga banyak mendapatkan sumbangsih dari pakaian adat Sunda. Apa saja pakaian adat Jawa Barat? Yuk Grameds, kita bahas bersama.

Pakaian adat yang bergantung pada kelas sosial

Dahulu, di mana kelas sosial masih memiliki pengaruh terhadap hidup seseorang, kentara sekali perbedaan yang dapat kita temukan. Misalkan saja hak untuk duduk bersama, hak untuk mendapat bergaul dengan siapa, hak untuk pendidikan, dan lainnya. Perbedaan kasta benar-benar mendapatkan perhatian yang sangat serius. Hal tersebut tentu saja berpotensi terjadinya kesenjangan sosial.

Jaman dulu, hal tersebut merupakan suatu hal yang lumrah diterapkan di banyak daerah, tak terkecuali di Sunda. Bukti keseriusan tersebut dapat kita perhatikan dari pakaian adat yang dikenakan oleh orang-orang Sunda.

Pakaian adat di Sunda dalam melakukan aktivitas sehari-hari dibagi menjadi tiga, yaitu:

Pakaian yang biasa dipakai oleh rakyat biasa ini pada umumnya dikenakan oleh para petani, buruh, dan rakyat jelata lainnya. Pakaian ini digunakan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari dan aktivitas lainnya. Oleh karena itu, tidak heran jika terkadang pakaian ini terlihat usang karena sangat sering digunakan.

Banyaknya petani, buruh, dan rakyat jelata di Sunda yang menggunakan pakaian ini menjadi ciri khas tersendiri sehingga pakaian ini dinobatkan menjadi pakaian adat untuk rakyat biasa. Bagaimana setelan pakaian untuk rakyat biasa baik untuk laki-laki dan perempuan Sunda?

Para lelaki Sunda dari kalangan rakyat biasa menggunakan setelan baju dan celana pangsi lengkap dengan segala aksesorisnya. Sementara untuk para wanita, menggunakan kebaya sederhana yang berwarna polos, meskipun terkadang ada yang menggunakan kebaya beraneka warna. Namun intinya bahan pembuatan kebaya ini adalah kain sederhana. Untuk bawahan, wanita Sunda menggunakan kain jarik yang dililitkan di pinggang. Tidak lupa sandal jepit keteplek digunakan sebagai alas kaki.

Para leader dalam sebuah bisnis biasa menggunakan pakaian ini saat melakukan rapat ataupun negosiasi dengan rekan bisnis mereka. Sesuai fungsinya, pakaian digunakan agar terbentuk kesan rapi dan berwibawa sehingga tidak diremehkan dalam melakukan bisnis. Oleh karena itu, pakaian ini dikhususkan untuk para pengusaha, saudagar, dan seseorang yang memiliki pendidikan tinggi.

Pakaian laki-laki terdiri dari jas putih (yang kemudian berkembang menjadi berbagai warna) yang dijuluki sebagai Baju Bedahan. Sebagai bawahan, para saudagar Sunda menggunakan kain kebat yang disarungkan di pinggang. Agar rambut tampak rapi, mereka menggunakan penutup kepala yang dinamakan bengker. Kesan mewah dan berkelas semakin terlihat dengan disematkannya arloji emas di saku jas sebelah atas.

Sementara para wanita yang menjadi istri para saudagar tersebut mengenakan kebaya yang bahannya lebih baik dari kebaya untuk rakyat biasa. Termasuk dalam memilih warna, mereka bebas bahkan untuk yang cerah sekalipun. Bawahan para wanita menggunakan kain kebat yang digunakan sebagai rok panjang. Tidak lupa dipasangkan perhiasan-perhiasan yang menarik agar yang menggunakannya tampak semakin cantik dan mempesona.

Para pewaris darah biru atau bangsawan menggunakan pakaian ini agar tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kuasa atas kepentingan publik sehingga menjadi orang penting di daerahnya. Kesan yang ditampilkan dalam pakaian ini adalah kedigdayaan yang berkelas.

Para laki-laki bangsawan Sunda mengenakan jas beludru hitam yang terbuat dari bahan dengan kualitas terbaik. Jas tersebut memiliki kerah sekitar 3-4 cm tanpa disertai lipatan. Sulaman benang berwarna keemasan pada kerah, tengah dekat kancing, dan kedua ujung lengan menambah kesan mewah dan kekuasaan yang dimiliki.

Celana hitam yang terbuat dari bahan dan motif yang sama dipasangkan sebagai bawahan agar selaras dengan jas hitam beludru tersebut. Agar tidak tampak terlalu sepi warna, dililitkan kain kebat berbatik di pinggang dengan panjang sampai sekitar paha.

Ikat pinggang emas dilingkarkan untuk meyakinkan bahwa celana terpasang dengan kuat. Tidak lupa dipasangkan Bendo di kepala agar rambut tampak lebih rapi. Dan sempurna, sebuah arloji keemasan disematkan di saku jas sebelah atas.

Sedangkan para wanita bangsawan mengenakan pakaian berbahan beludru dengan warna dan motif yang sama dengan bangsawan laki-laki Sunda. Dibuat sama agar pasangan bangsawan tampak serasi. Kain kebat berbatik dililitkan di pinggang dengan panjang sampai ke bawah sebagai bawahan dari pakaian adat untuk wanita ini.

Selop hitam berbahan beludru dipakaikan di kaki wanita sebagai alas kaki. Rambutnya dimodel sanggul lengkap dengan segala aksesorisnya, termasuk tusuk kondenya. Dan dengan terpasangnya perhiasan kalung, cincin, anting, giwang, atau gelang mewah dan indah, membuat orang tidak ragu kalau wanita yang sedang mengenakan setelan pakaian ini benar-benar merupakan seorang bangsawan.

Pakaian adat Jawa Barat yang digunakan untuk pengantin banyak yang terinspirasi oleh pakaian pengantin Sunda. Terlebih pakaian pengantin untuk mempelai wanita Jawa Barat yang banyak mengambil inspirasi dari putri-putri Kerajaan Sunda jaman dulu.

Seperti pada umumnya pakaian pengantin yang terdiri dari pakaian pria dan wanita, pakaian pengantin Jawa Barat juga memiliki hal serupa. Meski saat ini pakaian pengantin banyak yang dimodifikasi lebih modern, namun para perancang busana pengantin tetap menampilkan kesan keadatan.

Untuk pria, pakaian pengantin terdiri atas Jas Buka Prangwedana yang menurut budaya Jawa Barat melambangkan kewibawaan serta kejantanan yang dimiliki seorang laki-laki. Warna jas tersebut bebas dan diselaraskan dengan kebaya pengantin sang istri agar tampak serasi.

Kemudian kain bermotif batik disarungkan dengan melilitkannya di pinggang dan panjangnya hingga mata kaki. Sedangkan aksesoris wajib bagi mempelai pria adalah menggunakan bendo yang berhiaskan batu permata di tengah-tengahnya sebagai penutup kepala. Agar semakin tampak gagah dan jantan, tidak lupa mempelai pria membawa keris dan sarungnya (boro sarangka) sekaligus.

Sementara itu, pakaian pengantin wanita Jawa Barat lebih kompleks, terlebih adanya tambahan perhiasan dan aksesoris. Atasan wanita merupakan kebaya pengantin yang terbuat dari bahan brokat dengan warna cerah. Warna yang umum digunakan sebagai bahan baku kebaya pengantin ini adalah putih, krem, kuning, biru muda, dan lainnya.

Sama dengan mempelai pria, bawahan sang istri berupa kain batik yang dililitkan di pinggul wanita dengan panjang dari pinggul sampai bawah kaki. Kain batik ini memiliki dua pilihan motif, yakni sido mukti atau lereng eneng prada.

Budaya yang tertanam di Jawa Barat mengajarkan, kedua batik ini melambangkan adanya harapan agar keadaan kedua mempelai menjadi jauh lebih baik dan penuh dengan kebahagiaan setelah mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Nasehat yang mengajarkan panjangnya perjalanan kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama oleh suami dan istri tertuang dalam lereng eneng.

Selain atasan dan bawahan, mempelai wanita menggunakan kelat bahu yang berada di kedua lengan, perhiasan cincin permata, , kalung pendek dan panjang, dan gelang permata. Dan yang yang menarik dalam pernikahan adat Jawa Barat adalah mahkota campuran logam seberat 1,5 sampai 2 kg bernama Siger yang dipakai oleh mempelai wanita. Siger ini melambangkan tingginya rasa hormat, kearifan, dan kebijaksanaan dalam pernikahan.

Ada empat jenis riasan pengantin di Jawa Barat yang masing-masing jenis menyesuaikan tempat penyelenggaraan pernikahan tersebut. Keempat jenis riasan pengantin tersebut adalah sebagai berikut:

Jenis, Makna, Filosofi, dan Penjelasan Pakaian Adat

Beberapa jenis pakaian adat Jawa Tengah akan kita bahas bersama di  bawah ini, Grameds. Siap-siap ya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Jawa Tengah memiliki beragam batik. Kain batik yang memiliki macam-macam motif inilah yang digunakan sebagai bahan baku pakaian adat Jawa Tengah. Batik telah dibuat sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sejarah mencatat untuk pertama kalinya batik diperdagangkan pada tahun 1586 di Surakarta.

Yang menjadikan batik semakin mahal adalah metode tulis pada pembuatan batik yang menggunakan tangan secara manual. Oleh karena itu, seseorang yang tulisan tangannya bagus dan lama dikatakan sedang “membatik”.

Agar lebih mudah memahami pakaian adat Jawa Tengah, ada baiknya kita mengenal motif-motif kain batik Jawa Tengah lebih dulu.

Digunakan oleh orang tua mempelai pengantin dalam acara pernikahan. Kain ini bermakna orang tua dan mertua dapat memberikan nasehat sekaligus doa yang baik kepada anak dan menantu agar rumah tangga mereka berlangsung dengan baik, meraih derajat yang tinggi, dan semua harapan tercapai.

Digunakan oleh orang tua saat digelar acara Mitoni, Siraman, dan Tarub. Batik ini mewakili harapan agar sang anak yang akan menikah dapat mencari nafkah dan hidup mandiri setelah menikah, bahkan bukan hanya untuk pengantin melainkan juga keturunan mereka.

Dapat digunakan oleh siapa saja dan kapan saja karena kain batik ini lazimnya digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Motif ini mengingatkan agar setiap orang senantiasa memiliki cita-cita dan tujuan hidup yang jelas sehingga selalu semangat dalam menjalani hidup.

Batik yang hanya bisa digunakan oleh kalangan bangsawan ini mewakili harapan agar pemakainya dapat memperoleh keluhuran, kedudukan, dan dijauhkan dari segala marabahaya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Batik ini juga dikhususkan untuk orang-orang yang berasal dari kalangan kerajaan. Maknanya agar manusia tidak pernah lupa dari mana ia berasal, penunjuk arah empat mata angin, dan agar dapat mengendalikan nafsu hendaknya manusia senantiasa menggunakan hati nurani dalam setiap aktivitasnya.

Selain batik-batik di atas, masih ada banyak jenis batik lainnya. Dan yang perlu diingat adalah, masing-masing motif memiliki makna. Di jaman sekarang, tidak banyak orang yang mengenakan batik disesuaikan dengan peran dan maksud pemilihan motifnya. Sebab tidak banyak orang yang memahami bahwa setiap motif ternyata memiliki filosofi yang berbeda.