Pohon 77 Cabang Iman

Pohon 77 Cabang Iman

Syu'abul Iman Berdasarkan Perkataan

Umat Muslim diajarkan untuk menjaga lisan atau perkataan mereka, agar perkataan senantiasa digunakan untuk sesuatu yang baik dan tidak bertentangan dengan kehendak Allah SWT.

Syu'abul iman yang dikelompokkan dalam kategori lisan atau perkataan termanifestasi dalam 7 cabang keimanan sebagai berikut.

1. Membaca kalimat thayyibah (kalimat-kalimat yang baik).2. Membaca kitab suci Al-Qur'an.3. Belajar dan menuntut ilmu.4. Mengajarkan ilmu kepada orang lain.5. Berdoa.6. Zikir kepada Allah SWT termasuk istigfar.7. Menghindari bacaan yang sia-sia.

Syu'abul Iman Berdasarkan Hati

Pusat dari keyakinan seseorang adalah hati. Orang yang beriman adalah orang yang hati, ucapan, dan tindakannya sama. Bisa disimpulkan bahwa orang yang beriman berperilaku jujur serta memiliki prinsip dan pandangan yang teguh.

Jadi, yang dimaksudkan dengan iman yang sejati adalah iman dengan keyakinan penuh yang terpatri dalam hati, tanpa ada keraguan setitik pun.

Pengelompokan jenis syu'abul iman yang termasuk dalam golongan niat atau hati terdiri dari 30 hal sebagai berikut.

1. Iman kepada Allah SWT.2. Iman kepada malaikat Allah SWT.3. Iman kepada kitab-kitab Allah SWT.4. Iman kepada rasul-rasul Allah SWT.5. Iman kepada takdir baik dan takdir buruk Allah SWT.6. Iman kepada hari akhir.7. Iman kepada kebangkitan setelah kematian.8. Iman bahwa manusia akan dikumpulkan di Yaumul Mahsyar setelah hari kebangkitan.9. Iman bahwa orang mukmin akan tinggal di surga, dan orang kafir akan tinggal di neraka.10. Mencintai Allah SWT.11. Mencintai dan membenci karena Allah SWT.12. Mencintai Rasulullah SAW dan yang memuliakannya.13. Ikhlas, tidak riya dan menjauhi sifat munafik.14. Bertobat, menyesal, dan janji tidak akan mengulang suatu perbuatan dosa.15. Takut kepada Allah SWT.16. Selalu mengharapkan rahmat Allah SWT.17. Tidak berputus asa dari rahmat Allah SWT.18. Syukur nikmat.19. Menunaikan amanah.20. Sabar.21. Tawadlu dan menghormati yang lebih tua.22. Kasih sayang termasuk mencintai anak-anak kecil.23. Rida dengan takdir Allah SWT.24. Tawakkal.25. Meninggalkan sifat takabur dan menyombongkan diri.26. Tidak dengki dan iri hati.27. Rasa malu.28. Tidak mudah marah.29. Tidak menipu, tidak suudzon dan tidak merencanakan keburukan pada siapapun.30. Menanggalkan kecintaan kepada dunia, termasuk cinta harta dan jabatan.

Published November 1, 2017

Dokumen tersebut membahas tentang cabang-cabang iman yang terbagi menjadi tiga kategori yaitu perbuatan hati, perbuatan lisan, dan perbuatan jasmani. Perbuatan hati memiliki 24 cabang, perbuatan lisan 7 cabang, dan perbuatan jasmani 38 cabang sehingga total cabang-cabang iman adalah 69 cabang."

Aplikasi Android ini adalah Syarah 77 Cabang Iman - Imam Al-Baihaqi. Dalam format Pdf.Penulis : Imam Abu Ja'far Umar Al-QazwiniRasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Iman itu mempunyai tujuh puluh lebih cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah bagian dari iman." (Diriwayatkan Al-Bukhari)Apa saja yang masuk 77 cabang iman? Dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mana yang dijadikan patokan para ulama dalam menentukan suatu perkara termasuk cabang iman?? Bagaimana suatu perkara lebih diprioritaskan dari yang lain dalam menentukan urutan cabang iman? Di mana letak perintah dan larangan dalam urutan cabang iman? Imam Al-Baihaqi rahimahullah adalah seorang ahli hadits yang telah berupaya menjawab semua pertanyaan di atas dalam buku ini.Mudah-mudahan Aplikasi ini dapat bermanfaat dan menjadi teman setia dalam proses belajar disetiap waktu tanpa harus online.Mohon berikan Ulasan bintang 5 untuk memberi rasa semangat pada kami dalam membuat dan mengembangkan aplikasi-aplikasi bermanfaat lainnya.Terima kasih.Selamat membaca.Disclaimer :Semua konten dalam aplikasi ini bukan merek dagang kami. Kami hanya mendapatkan konten dari mesin pencari dan situs web. Hak cipta dari semua konten dalam aplikasi ini sepenuhnya dimiliki oleh pencipta yang bersangkutan. Kami bertujuan untuk berbagi ilmu dan memudahkan belajar bagi pembaca dengan aplikasi ini, jadi tidak ada fitur download dalam aplikasi ini. Jika Anda adalah pemegang hak cipta dari file konten yang terdapat dalam aplikasi ini dan tidak suka konten Anda ditampilkan, silakan hubungi kami melalui pengembang email dan beri tahu kami tentang status kepemilikan Anda pada konten tersebut.

Ứng dụng Android này là lời giải thích về Syarah 77 nhánh đức tin của Syu'abul Iman Al-Baihaqi. Ở định dạng Pdf.Nhiều lá thư đã được gửi đến kể từ Wasith và Baghdad hỏi Shaykh Muhammad bin Al-Qasim bin Abi Al-Badar bin Al-Mulhi Al-Mizzi về việc có bao nhiêu nhánh của đức tin?Như Al-Bukhari và người bạn Hồi giáo Abu Huralrah Radhiyallahu Anhu thuật lại, Nhà tiên tri sallallaahu alaihi wa Sallam đã nói:"Đức tin có hơn sáu mươi, hoặc bảy mươi nhánh nữa. Cao nhất hoặc quan trọng nhất theo các lời kể khác nhau là câu nói 'không có thần nào ngoài Allah', thấp nhất là loại bỏ chướng ngại vật trên con đường, và xấu hổ là một phần của đức tin."Vì kiến ​​thức rất rộng nên Shaykh thực sự muốn đề cập chi tiết nhưng lại hoãn lại câu trả lời vì có một số trở ngại.Sau một thời gian và ngày càng nhiều câu hỏi, tôi trình bày cuốn sách Syu'abul Iman của Imam Al-Hafizh Al-Faqih Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi, tổng cộng sáu tập, để tôi trích dẫn chính xác như trong bản gốc. Chủ đề này được tìm thấy trong nhiều tập khác nhau, anh ấy không đưa nó vào tập đầu tiên hoặc trong phần mở đầu. Anh ấy quan tâm nhiều hơn đến việc trình bày chi tiết sharah của mình, vốn nằm rải rác trong tất cả các tập của cuốn sách.Hy vọng nội dung vật chất của ứng dụng này có thể hữu ích cho việc tự xem xét nội tâm và cải thiện tốt hơn trong cuộc sống hàng ngày.Vui lòng cung cấp các đánh giá và ý kiến ​​đóng góp cho sự phát triển của ứng dụng này, đánh giá 5 sao để khuyến khích chúng tôi phát triển các ứng dụng hữu ích khác.Chúc bạn đọc vui vẻ.Tuyên bố từ chối trách nhiệm:Tất cả nội dung trong ứng dụng này không phải là nhãn hiệu của chúng tôi. Chúng tôi chỉ nhận được nội dung từ các công cụ tìm kiếm và trang web. Bản quyền của tất cả nội dung trong ứng dụng này hoàn toàn thuộc sở hữu của người sáng tạo có liên quan. Chúng tôi mong muốn chia sẻ kiến ​​thức và giúp người đọc dễ dàng học tập hơn với ứng dụng này, vì vậy ứng dụng này không có tính năng tải xuống. Nếu bạn là người giữ bản quyền của các tệp nội dung có trong ứng dụng này và không thích nội dung của bạn được hiển thị, vui lòng liên hệ với chúng tôi qua nhà phát triển email và cho chúng tôi biết về trạng thái quyền sở hữu của bạn đối với nội dung đó.

Lần cập nhật gần đây nhất

Dokumen tersebut membahas 77 cabang iman menurut Imam Al-Baihaqi. Cabang-cabang iman tersebut meliputi iman kepada Allah SWT, para rasul, malaikat, kitab-kitab suci, hari akhir, dan amal saleh seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya.

%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 419.52 595.32] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ¥V[SÛ8~ÏLþƒÞÖÞY+ºZr‡ñL.ÐÒ.-mÂìíƒBÈ–8à„éðï÷É6vH;K°%�˧sÑ`Xl—7ÙÕ– †Ûmvu;¿&—ƒÙúþÇ`öt?œg‹ežm—ë

IMAN memiliki cabang yang sangat banyak, hal ini menunjukkan bahwa kata-kata IMAN jika disebutkan secara mutlak -tanpa dikaitkan dengan kata Islam- mencakup agama secara keseluruhan. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan cabang-cabang IMAN tersebut baik secara global ataupun secara rinci.

Berkaitan dengan penjelasan Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam tentang IMAN secara global, hal ini terdapat dalam hadits Abu Hurairah Radhiallohu ‘Anhu, beliau berkata; Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻀﻊ ﻭﺳﺒﻌﻮﻥ ﺷﻌﺒﺔ، ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﺷﻌﺒﺔ ﻣﻦ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ

IMAN itu ada lebih dari tujuh puluh cabang, dan MALU merupakan salah satu cabang dari IMAN

Dalam riwayat yang lain :

ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻀﻊ ﻭﺳﺒﻌﻮﻥ، ﺃﻭ ﺑﻀﻊ ﻭﺳﺘّﻮﻥ ﺷﻌﺒﺔ، ﻓﺄﻓﻀﻠﻬﺎ ﻗﻮﻝ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﺃﺩﻧﺎﻫﺎ ﺇﻣﺎﻃﺔ ﺍﻷﺫﻯ ﻋﻦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ، ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﺷﻌﺒﺔ ﻣﻦ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ

IMAN itu ada lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, tingkatan cabang terafdhol -tertinggi- adalah ucapan LA ILAHA ILLALLOH, tingkatan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan, dan MALU merupakan salah satu cabang dari IMAN [Muttafaqun ‘alaih]

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang (riwayat lain tujuh puluh tujuh cabang) dan yang paling utama ialah Laa ilaaha illa Allah, dan yang terendah ialah mebuang duri dari jalan. Dan malu juga merupakan salah satu cabang iman.” (Ashhabus Sittah).

Banyak ahli hadits yang menulis risalah mengenai cabang iman di antaranya ialah : Abu Abdillah Halimi rah a dalam Fawaidul Minhaj, Imam Baihaqi rah a dalam Syu’bul Iman, Syaikh Abdul Jalil rah a dalam Syu’bul Iman, Ishaq bin Qurthubi rah a dalam An Nashaih, dan Imam Abu Hatim rah a dalam Washful Iman wa Syu’buhu.

Para pensyarah kitab Bukhari rah a menjelaskan serta mengumpulkan ringkasan masalah ini dalam kitab-kitab tersebut. Walhasil pada hakikatnya iman yang sempurna itu mempunyai 3 (tiga) bagian :

1. Tashdiq bil Qalbi, yaitu meyakini dengan hati,

2. Iqrar bil Lisan, mengucapkan dengan lisan, dan

3. Amal bil Arkan, mengamalkan dengan anggota badan.

Cabang iman terbagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu yang berhubungan dengan :

1) Niat, aqidah, dan amalan hati;

3) Seluruh anggota tubuh.

▪Yang Berhubungan dengan Niat, Aqidah, dan Hati

1) Beriman kepada Allah, kepada Dzat-Nya, dan segala sifat-Nya, meyakini bahwa Allah adalah Maha Suci, Esa, dan tiada bandingan serta perumpamaannya.

2) Selain Allah semuanya adalah ciptaan-Nya. Dialah yang Esa.

3) Beriman kepada para malaikat.

4) Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya.

5) Beriman kepada para Rasul.

6) Beriman kepada takdir yang baik maupun buruk, bahwa semua itu dating dari Allah.

7) Beriman kepada hari Kiamat, termasuk siksa dan pertanyaan di dalam kubur, kehidupan setelah mati, hisab, penimbangan amal, dan menyeberangi shirat.

8) Meyakini akan adanya Syurga dan Insya Allah semua mukmin akan memasukinya.

9) Meyakini neraka dan siksanya yang sangat pedih untuk selamanya.

11) Mencintai karena Allah dan membenci karena Allah termasuk mencintai para sahabat, khususnya Muhajirin dan Anshar, juga keluarga Nabi Muhammad saw dan keturunannya.

12) Mencintai Rasulullah saw, termasuk siapa saja yang memuliakan beliau, bershalawat atasnya, dan mengikuti sunnahnya.

13) Ikhlash, tidak riya dalam beramal dan menjauhi nifaq.

14) Bertaubat, menyesali dosa-dosanya dalam hati disertai janji tidak akan mengulanginya lagi.

15) Takut kepada Allah.

16) Selalu mengharap Rahmat Allah.

17) Tidak berputus asa dari Rahmat Allah.

19) Menunaikan amanah.

21) Tawadhu dan menghormati yang lebih tua.

22) Kasih saying, termasuk mencintai anak-anak kecil.

23) Menerima dan ridha dengan apa yang telah ditakdirkan.

25) Meninggalkan sifat takabbur dan membanggakan diri, termasuk menundukkan hawa nafsu.

26) Tidak dengki dan iri hati.

28) Tidak menjadi pemarah.

29) Tidak menipu, termasuk tidak berburuk sangka dan tidak merencanakan keburukan atau maker kepada siapapun.

30) Mengeluarkan segala cinta dunia dari hati, termasuk cinta harta dan pangkat.

▪Yang Berhubungan dengan Lidah

31) Membaca kalimat Thayyibah.

32) Membaca Al Quran yang suci.

34) Mengajarkan ilmu.

36) Dzikrullah, termasuk istighfar.

37) Menghindari bicara sia-sia.

▪Yang berhubungan dengan Anggota Tubuh

38) Bersuci. Termasuk kesucian badan, pakaian, dan tempat tinggal.

39) Menjaga shalat. Termasuk shalat fardhu, sunnah, dan qadha’.

40) Bersedekah. Termasuk zakat fitrah, zakat harta, member makan, memuliakan tamu, serta membebaskan hamba sahaya.

41) Berpuasa, wajib maupun sunnah.

42) Haji, fardhu maupun sunnah.

43) Beriktikaf, termasuk mencari lailatul qadar di dalamnya.

44) Menjaga agama dan meninggalkan rumah untuk berhijrah sementara waktu.

45) Menyempurnakan nazar.

46) Menyempurnakan sumpah.

47) Menyempurnakan kifarah.

48) Menutup aurat ketika shalat dan di luar shalat.

49) Berkorban hewan, termasuk memperhatikan hewan korban yang akan disembelih dan menjaganya dengan baik.

50) Mengurus jenazah.

51) Menunaikan utang.

52) Meluruskan mu’amalah dan meninggalkan riba.

53) Bersaksi benar dan jujur, tidak menutupi kebenaran.

54) Menikah untuk menghindari perbuatan keji dan haram.

55) Menunaikan hak keluarga dan sanak kerabat, serta menunaikan hak hamba sahaya.

56) Berbakti dan menunaikan hak orang tua.

57) Mendidikan anak-anak dengan tarbiyah yang baik.

58) Menjaga silaturrahmi.

59) Taat kepada orang tua atau yang dituakan dalam agama.

60) Menegakkan pemerintahan yang adil

61) Mendukung jemaah yang bergerak di dalam kebenaran.

62) Mentaati hakim (pemerintah) dengan syarat tidak melanggar syariat.

63) Memperbaiki mu’amalah dengan sesama.

64) Membantu orang lain dalam kebaikan.

65) Amar makruh Nahi Mungkar.

66) Menegakkan hukum Islam.

67) Berjihad, termasuk menjaga perbatasan.

68) Menunaikan amanah, termasuk mengeluarkan 1/5 harta rampasan perang.

69) Memberi dan membayar utang.

70) Memberikan hak tetangga dan memuliakannya.

71) Mencari harta dengan cara yang halal.

72) Menyumbangkan harta pada tempatnya, termasuk menghindari sifat boros dan kikir.

73) Memberi dan menjawab salam.

74) Mendoakan orang yang bersin.

75) Menghindari perbuatan yang merugikan dan menyusahkan orang lain.

76) Menghindari permainan dan senda gurau.

77) Menjauhkan benda-benda yang mengganggu di jalan.

Pada dasarnya, manusia lahir dengan keyakinan akan adanya suatu entitas yang maha kuasa. Keyakinan ini dalam istilah agama disebut iman.

Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas X Kemdikbud oleh Ahmad Taufik dan Nurwastuti Setyowati, menurut bahasa definisi iman adalah kepercayaan, keyakinan, ketetapan, atau keteguhan hati.

Pilar-pilar keimanan terdiri dari enam perkara yang disebut rukun iman dalam Islam, yaitu:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Iman kepada Allah SWT.2. Meyakini adanya rasul-rasul utusan Allah SWT.3. Mengimani keberadaan malaikat-malaikat Allah SWT.4. Meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab-Nya.5. Meyakini akan datangnya hari akhir.6. Mempercayai qada dan qadar Allah SWT.

Keenam rukun iman ini wajib dimiliki semua umat Muslim. Sebab tanpa mempercayai salah satunya, maka gugurlah iman tersebut. Iman yang terdi dari enam pilar tersebut memiliki beberapa bagian (unsur) dan perilaku, yang bisa menambah amal manusia jika dilakukan semuanya. Sebaliknya, dapat mengurangi amal manusia jika ditinggalkan.

Pengertian Syu'abul Iman

Syu'abul iman dikenal juga sebagai cabang iman. Syu'abul iman merupakan amalan atau perbuatan yang harus dilakukan oleh seseorang yang mengakui dirinya beriman.

Jumlah keseluruhan dalam sayu'abul iman adalah 77 cabang. Bila 77 cabang itu dilaksanakan sepenuhnya, maka sempurnalah imannya. Apabila ada yang ditinggalkan, maka berkuranglah kesempurnaan imannya.

77 syu'abul iman ini sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah Muhammad SAW. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

Artinya: "Iman itu 77 (tujuh puluh tujuh) lebih cabangnya, yang paling utama adalah mengucapkan laa ilaha illallah, dan yang paling kurang adalah menyingkirkan apa yang akan menghalangi orang di jalan, dan malu itu salah satu dari cabang iman." (HR Muslim)

Macam-macam Syu'abul Iman

Para ahli hadits menjelaskan dan merangkum 77 syu'abul iman menjadi 3 kategori atau golongan, yakni syu'abul iman berdasarkan niat atau hati, syu'abul iman berdasarkan perkataan, dan syu'abul iman berdasarkan perbuatan.

Berikut adalah penjelasan dari jenis-jenis syu'abul iman:

Syu'abul Iman Berdasarkan Perbuatan

Iman adalah hal yang abstrak dan sulit diukir. Seseorang bisa mengatakan dirinya beriman tetapi perbuatannya mengingkari apa yang ia katakan.

Iman juga bukan sebatas pengetahuan tentang makna dan hakikat iman itu sendiri. Ada orang yang memahami hakikat iman, tetapi mengingkarinya.

Oleh karena itu, dalam syu'abul iman, terdapat 40 cabang iman yang mencerminkan konkritnya iman seseorang melalui perbuatannya. 40 syu'abul iman berdasarkan perbuatan itu adalah sebagai berikut.

1. Bersuci atau thaharah termasuk di dalamnya kesucian badan, pakaian, dan tempat tinggal.2. Menegakkan salat baik salat fardu, salat sunah maupun mengqadla salat.3. Bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim, membayar zakat fitrah dan zakat mal, memuliakan tamu, serta membebaskan budak.4. Menjalankan puasa wajib dan sunah.5. Melaksanakan haji bagi yang mampu.6. Beriktikaf di dalam masjid, termasuk di antaranya adalah mencari lailatul qadar.7. Menjaga agama dan bersedia meninggalkan rumah untuk berhijrah beberapa waktu tertentu.8. Menyempurnakan dan menunaikan nazar.9. Menyempurnakan dan menunaikan sumpah.10. Menyempurnakan dan menunaikan kafarat.11. Menutup aurat ketika sedang salat maupun ketika tidak salat.12. Melaksanakan kurban.13. Mengurus perawatan jenazah.14. Menunaikan dan membayar utang.15. Meluruskan muamalah dan menghindari riba.16. Menjadi saksi yang adil dan tidak menutupi kebenaran.17. Menikah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan haram.18. Menunaikan hak keluarga, sanak kerabat, serta hamba.19. Berbakti dan menunaikan hak orang tua.20. Mendidik anak-anak dengan pola asuh dan pola didik yang baik.21. Menjalin silaturahmi.22. Taat dan patuh kepada orang tua atau yang dituakan dalam agama.23. Menegakkan pemerintahan yang adil.24. Mendukung seseorang yang bergerak dalam kebenaran.25. Menaati hakim (pemerintah) dengan catatan tidak melanggar syariat.26. Memperbaiki hubungan muamalah dengan sesama.27. Menolong orang lain dalam kebaikan.28. Amar ma'ruf nahi munkar.29. Menegakkan hukum Islam.30. Berjihad mempertahankan wilayah perbatasan.31. Menunaikan amanah termasuk mengeluarkan 1/5 harta rampasan perang.32. Memberi dan membayar utang.33. Memberikan hak-hak tetangga dan memuliakannya.34. Mencari harta dengan cara yang halal.35. Menyedekahkan harta, termasuk juga menghindari sifat boros dan kikir.36. Memberi dan menjawab salam.37. Mendoakan orang yang bersin.38. Menghindari perbuatan yang merugikan dan menyusahkan orang lain.39. Menghindari permainan dan senda gurau.40. Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu di jalan.

Demikianlah 77 syu'abul iman yang terbagi menjadi 30 cabang iman berdasarkan hati, 7 cabang iman berdasarkan perkataan, dan 40 cabang iman berdasarkan perbuatan.

Jika seseorang mampu mengamalkan 77 syu'abul iman tersebut, niscaya ia akan merasakan nikmatnya mengimplementasikan hakikat iman dalam kehidupan. Amin.

Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan.Dan malu itu termasuk bagian dari iman.

TAKHRIJ HADITS Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri, no. 9 dan dalam al-Adabul Mufrad, no. 598; Muslim, 35 [58], dan lafazh hadits di atas adalah lafazh riwayat imam Muslim; Ahmad, II/414, 445; Abu Dawud, no. 4676; At-Tirmidzi, no. 2614; An-Nasâ-I, VIII/110; Ibnu Mâjah, no. 57; Ibnu Hibban, no. 166, 181, 191-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).

SYARAH HADITS Hadits ini menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan dan perbuatan hati, amalan anggota badan, perkataan lisan, serta semua yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , juga segala yang dicintai dan diridhai-Nya, baik yang wajib maupun yang mustahabb. Itu semua masuk dalam iman.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْبِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً

Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih , atau enam puluh cabang lebih

Definisi iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa dien dan iman adalah ucapan dan  perbuatan; perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota tubuh.

Iman itu bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiat.

Prinsip Ahlus Sunnah tentang iman adalah sebagai berikut:[2]

Barangsiapa berpendapat demikian, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Sesungguhnya pemahaman seperti ini berasal dari kejelekan faham kaum Murji’ah.

Dalam hadits ini disebutkan iman yang paling utama, yang paling rendah, serta yang pertengahan. Yang pertengahan yaitu malu. Malu disebutkan di sini, karena ia merupakan faktor terkuat yang mendorong seseorang mengerjakan seluruh cabang keimanan.

Orang merasa malu terhadap Allâh Azza wa Jalla karena menyadari nikmat Allâh Azza wa Jalla yang melimpah kepadanya, kedermawanan-Nya, kemuliaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya –sementara dia seorang hamba yang sangat banyak kekurangannya terhadap Rabbnya Yang Maha Mulia dan Maha Besar, dia  menzhalimi dirinya dan bermaksiat. Kesadaran ini mengharuskan dirinya memiliki rasa malu untuk mencegahnya dari (berbuat) kejahatan dan mengerjakan segala kewajiban dan keutamaan-keutamaan.

Cabang iman yang paling tinggi, paling pokoknya, akar dan pondasi iman adalah perkataan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ dengan jujur dari hatinya, dalam keadaan tahu, sadar dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allâh semata. Allâh Azza wa Jalla, Rabb yang mengurusnya dan mengurus seluruh alam dengan keutamaan dan kebaikan-Nya.

Segala sesuatu itu selain Allâh Azza wa Jalla itu faqir, hanya Allâh Yang Maha Kaya. Segala sesuatu itu lemah, hanya Allâh Yang Maha Kuat. Kemudian seorang hamba beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dalam setiap keadaan, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya. Karena semua cabang-cabang iman itu merupakan cabang dan buah dari pokok ini.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa sebagian iman itu kembali kepada pengikhlasan ibadah kepada Allâh dan sebagiannya lagi kembali kepada berbuat baik kepada sesama makhluk.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ

Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh

Kalimat syahadat merupakan kalimat yang paling agung dan memiliki banyak keutamaan.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh. Kalimat yang menjadi tegak dengannya langit dan bumi. Semua makhluk diciptakan karena kalimat ini. Dengan (membawa misi) kalimat itu, Allâh Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya, menurunkan Kitab-kitab-Nya, dan menetapkan syari’at-Nya. Dengan sebab kalimat itulah mizan (timbangan) diadakan, diletakkan catatan-catatan amal, serta manusia digiring menuju surga atau neraka. Dengan sebab kalimat ini, makhluk terbagi menjadi dua: Mukmin dan kafir, serta yang baik dan yang jahat. Kalimat itu adalah pangkal dari penciptaan, perintah, pahala, dan siksa. Ia adalah kebenaran yang karenanya makhluk diciptakan. Tentangnya dan tentang hak-haknya diadakan pertanyaan dan hisab (perhitungan). Atas dasar kalimat itulah ada pahala dan siksa, kiblat dipancangkan, dan azas-azas agama diletakkan. Dan karena kalimat inilah pedang-pedang jihad dihunus. Dia adalah hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas segenap makhluk-Nya. Dia adalah kalimat Islam dan kunci negeri kesejahteraan (Surga). Tentangnyalah makhluk yang pertama dan yang terakhir akan ditanya.

Sungguh, kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser di hadapan Allâh Azza wa Jalla sampai dia tanya tentang dua pertanyaan:

Jawaban pertanyaan pertama ialah dengan mewujudkan (syahadat) “Lâ ilâha illallâh (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh)” dalam ‘ilmu (pengetahuan), pengakuan dan pengamalan.

Sedang jawaban pertanyaan kedua adalah dengan mewujudkan (syahadat) “bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh” baik dalam ‘ilmu (pengetahuan), pengakuan, kepatuhan, dan ketaatan.”[3]

Makna Kalimat[لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ  [4 Makna yang benar dari kalimat Tauhid لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ adalah:

لَا مَعْبُوْدَ بِـحَقٍّ إِلَّا اللهُ

Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh

Lafazh لَا إِلٰـهَ (lâ ilâha) adalah menafikan semua yang disembah selain Allâh, dan lafazh إِلَّا اللهُ (illallâh) adalah menetapkan segala bentuk ibadah yang ditujukan hanya kepada Allâh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak ada sekutu bagi Allâh dalam kekuasaan-Nya.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Apabila seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi kecuali Dia, maka ia telah memberitakan, menjelaskan, dan mengabarkan bahwa selain-Nya bukan ilah yang berhak diibadahi. Allâh satu-satunya yang berhak diibadahi.”[6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ini merupakan kalimat yang paling agung yang menafikan sesembahan kepada selain Allâh dan menetapkan segala sifat yang istimewa untuk Allâh Azza wa Jalla . Penunjukan kalimat ini akan penetapan bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah selain Allâh lebih besar daripada sekedar perkataan kita “Allâh adalah Ilaah,” dan tidak ada satupun yang meragukan ini.”[7]

Semua yang disembah selain Allâh dinamakan آلِهَة (tuhan-tuhan) karena mereka memang disembah oleh manusia, meskipun pada hakikatnya mereka tidak berhak diibadahi tetap saja namanya tuhan. Akan tetapi, semua itu adalah tuhan yang bathil. Maka, penamaan إِلٰـهٌ (ilaah) bagi sesembahan selain Allâh ditetapkan dalam satu segi dan dinafikan dalam segi yang lain. Ditetapkan dari segi eksistensinya dan dinafikan dari segi keberhakannya untuk diibadahi.[8]

Rukun-Rukun Kalimat  لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ Kalimat syahadat lâ ilâha illallâh memiliki dua rukun: yaitu al-itsbât (menetapkan) dan an-nafyu (meniadakan).

Lafazh lâ ilâha berarti meniadakan atau menolak (an-nafyu) segala ilah (sesembahan) selain Allâh Azza wa Jalla .

Dan lafazh illallâh berarti menetapkan (al-itsbaat) bahwa segala bentuk ibadah (penghambaan) itu hanya bagi Allâh semata, tidak ada sesuatu pun yang boleh dijadikan sebagai sekutu dalam peribadahan kepada-Nya.

Ini ditopang dengan dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya:

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

… Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allâh, maka sungguh ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat. Allâh Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [Al-Baqarah/2:256]

Rukun pertama yaitu an-nafyu, ada pada lafazh,

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ

“…Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut…”

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Thaghut adalah semua yang diibadahi selain Allâh Azza wa Jalla .”[9]

Sedangkan rukun kedua yaitu al-itsbât, ada pada lafazh:

“… Dan beriman kepada Allâh…”

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

Demikianlah (kebesaran Allâh) karena Allâh, Dia-lah (Rabb) Yang Haqq (untuk diibadahi). Dan apa saja yang mereka ibadahi selain Dia, itulah yang bathil. Dan sungguh Allâh, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.”[Al-Hajj/22: 62]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Barangsiapa telah mengucapkan lâ ilâha illallâh (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh) dan mengingkari (sesembahan-sesembahan) selain Allâh, maka haramlah harta dan darahnya, dan hisab (perhitungan amal)nya diserahkan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala[10]

Konsekuensi dari rukun kalimat ini yaitu seorang Muslim yang sudah jelas mengucapkan kalimat tauhid ini, maka ia wajib menolak dan mengingkari semua yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla . Semua yang disembah dan diibadahi selain Allâh adalah bathil. Dan ia pun wajib menetapkan bahwa satu-satunya yang benar dan yang wajib diibadahi hanya Allâh Azza wa Jalla saja. Kita wajib beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak boleh kepada selain-Nya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ

Dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan keharusan menyingkirkan gangguan dari semua jalan kebaikan, Karena itu merupakan kebaikan yang mengandung banyak manfaat, serta bisa mencegah bahaya pada makhluk.

Seorang yang beriman harus berusaha menyingkirkan apa saja yang mengganggu jalan kaum Muslimin. Dia harus berusaha menyingkirkan batu, duri, kayu, pohon yang tumbang, dahan yang patah, pecahan kaca dan yang lainnya. Dan termasuk mengganggu jalan kaum Muslimin yaitu bila seseorang parkir mobil atau motor atau berhenti sembarangan yang menutup jalan orang lewat. Oleh karena itu seseorang harus parkir pada tempatnya dan tidak boleh mengganggu jalan kaum Muslimin.

Menyingkirkan gangguan dari jalan kaum Muslimin mempunyai banyak keutamaan, di antaranya:

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي الجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِي الْمُسْلِمِيْنَ

Sungguh, aku melihat seseorang bolak-balik (bersenang-senang) di surga dengan sebab sebatang pohon yang ia potong dari jalan karena mengganggu kaum Muslimin.[11]

وَفِي رِوَايَةٍ : مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهرِ طَرِيْقٍ ، فَقَالَ : وَاللهِ لَأُنَـحِّـيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ لَا يُؤْذِيْهِمْ ، فَأُدْخِلَ الْـجـَنَّةَ

Dalam riwayat lain: Ada laki-laki yang melewati batang pohon yang berada di tengah jalan, lalu ia berkata, ‘Demi Allâh! Saya akan menyingkirkannya agar tidak mengganggu kaum Muslimin.’ Maka (dengan itu) ia dimasukkan ke surga.”[12]

وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا : بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَريْقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَلَى الطَّرِيْقِ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ ، فَغَفَرَ لَهُ

Dalam riwayat lain di al-Bukhâri dan Muslim, “Suatu hari seseorang melewati sebuah jalan lalu mendapati dahan berduri di jalan tersebut. Lalu ia menyingkirkannya, kemudian dengan itu Allâh berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.”[13]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

Dan malu itu termasuk bagian dari iman

Malu yaitu rasa yang menimpa seseorang ketika dia melakukan perbuatan yang membuatnya gelisah. Malu termasuk sifat yang terpuji. Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya juga malu. Sampai-sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit, tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah malu dalam kebenaran.

Jadi, malu itu adalah sifat terpuji, tetapi tidak patut malu dalam hal kebenaran. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ

… Allâh tidak malu (menerangkan) yang benar… [Al-Ahzâb/33:53]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا

Sesungguhnya Allâh tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu… [Al-Baqarah/2:26]

Tidak patut malu dalam  kebenaran. Rasa malu pada selain kebenaran, termasuk akhlak terpuji. Orang yang tidak memiliki rasa malu, dia tidak peduli dengan apa yang dia perbuat dan apa yang dia katakan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى:  إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ؛ فَاصْنَعْ مَاشِئْتَ

Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.[14]

Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[15]

Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al–hayâ (hujan), tetapi makna ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu seseorang. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

Al-Junaid rahimahullah berkata, “Rasa malu yaitu menyadari kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan rasa malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotifasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[16]

Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa: Malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat dan mencegah dari sikap melalaikan hak orang lain.[17]

Malu, ada dua jenis, yaitu:

1. Malu yang merupakan karakter dan watak bawaan Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ

Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.[18]

Karena malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya berperangai dengan akhlak mulia. Dalam konteks ini, malu seperti itu termasuk iman. Al-Jarrah bin ‘Abdullah al-Hakami rahimahullah berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[19]

2. Malu yang timbul karena adanya usaha Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allâh) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang khianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha ini juga sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabiat maupun yang didapat dengan usaha maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari perbuatan keji dan maksiat, sehingga ia menjadi syaitan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allâh.[20]

Dahulu orang-orang Jahiliyyah sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya. Diantara contohnya, apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata:

فَوَاللهِ، لَوْلَا الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ

Demi Allâh! Kalau bukan karena rasa malu yang aku khawatir dituduh sebagai pendusta oleh mereka, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasûlullâh).[21]

Rasa malu telah menghalanginya untuk berbuat dusta mengenai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia malu dituduh sebagai pendusta.

Konsekuensi malu menurut syari’at Islam yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ. مَنِ اسْتَحْىَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَاوَعَى وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَاحَوَى وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذٰلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu. Barangsiapa merasa malu kepada Allâh dengan benar, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya! Hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya! Dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan (ketika engkau sudah menjadi) tulang belulang! Barangsiapa menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu.[22]

Jika kita mengetahui bahwa cabang-cabang iman semuanya kembali kepada perkara-perkara ini, maka kita juga mengetahui bahwa semua kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam termasuk cabang iman. Dan kadar keimanan seorang hamba, tergantung pada kadar kebiasaannya itu.

Allâh Azza wa Jalla memisalkan iman dengan pohon yang baik, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ ﴿٢٤﴾ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allâh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit,(pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabb-nya. Dan Allâh membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” [Ibrâhîm/14:24-25]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, I/205 dengan sedikit tambahan. [2] Lihat at-Tanbîhat al-Lathîfah, hlm. 84-89, Mujmal Masâ-il Îmân wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushûlil ‘Aqîdah as-Salafiyyah, hlm. 21-27, cet. II, 1424 H dan Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqîdah, hlm. 18-19. [3] Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil ‘Ibâd, I/34, oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah [4] Dinukil dari al-Ushûl ats-Tsalâtsah karya Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin ‘Abdul Wahhab; Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd karya Syaikh ‘Abdur-rahman bin Hasan Alusy Syaikh; Taisîr ‘Azîzil Hamîd karya Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah Alusy Syaikh; Al-Qaulul Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; ‘Aqîdatut Tauhîd karya Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan; serta Syahâdatu an Lâ Ilâha illallâh karya Syaikh DR. Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz ‘Utsman as-Sindy, dan kitab-kitab lainnya. [5] Syarh Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 71 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. [6] Majmû’ al-Fatâwâ, XIV/171 [7] Badâ`i’ul  Fawâ`id, III/926 [8] Syahâdatu an Lâ Ilâha illallâh, hlm.22 [9] Fat-hul Majîd Syarh Kitâbut Tauhiid, I/88; tahqiq DR. Al-Waalid bin ‘Abdur-Rahman bin Muhammad Aalu Furayyan. [10] Shahih: HR. Muslim, no. 23 (37), dari Abu Malik, dari ayahnya, yaitu Thariq bin Asy-yam Radhiyallah anhu [11] Shahih: HR. Muslim, no. 1914 [129] , dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu [12] Shahih: HR. Muslim, no. 1914 [128] [13] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 652 dan Muslim, no. 1914 [127] [14] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 3483, 3484, 6120; Ahmad, IV/121, 122, V/273; Abu Dawud, no. 4797; dan lainnya, dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri Radhiyallahu anhu [15] Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, hlm. 54 karya Ibnu Hibban al-Bustiy. [16] Madârijus Sâlikîn, II/270, cet. Darul Hadits-Kairo.Lihat juga Fat-hul Bâri, X/522 tentang definisi malu. [17]  Lihat al-Hayâ’ fî Dhau-il Qur’ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah, hlm. 9 [18] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6117 dan Muslim, no. 37 (61) [19]  Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/501 [20]  Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id, hlm. 181 [21]  Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 7 [22] Hasan: HR. At-Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, I/387; al-Hakim, IV/323; dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 4033 dan ini lafazhnya. Derajat hadits ini hasan karena ada syawahid (penguat)nya. Lihat Shahîh al-Jâ-mi’ish Shaghîr, no. 935 dan Takhrîj Hidâyatur Ruwât, II/182-183, no. 1551